Puisi Tentang ZAMAN | Ari Saptaji

ZAMAN
Ari Saptaji

Berayun dalam warna-warni lampu sepanjang jalan
sepanjang malam, dan angin menampar-nampar etalase
menghamburkan sepi ke langit terbakar. Demikianlah,
zaman yang malu dan ketakutan, riwayat yang kembali
berulang: Hawa membagikan dosa kepada Adam.

Keterpisahan, ketelanjangan: persembunyian yang malam
dan menggigilkan. Lantas angin, dengan suara sengau melepas
panah-panah menggugat: Di manakah engkau?

Dan beringin di simpang boulevard merontokkan
daun-daunnya di ujung sebuah musim panas. Ya, guguran daun,
betapa indahnya! Orang-orang menyematnya untuk mengubur
sebuah masa lalu dan melupakan kejadian yang pecah:
Didirikan, di tengah kota, sebuah tugu dengan silsilah terkoyak.

Wajah kemanusiaan yang berdiri seperti Adam dan Hawa
di hadapan Tuhannya: saling menuding dengan kata-kata
yang mengeringkan langit. Malam di hati, malam di hati:
Siapa hendak membangkitkan matahari? Mereka merasa
memiliki kota, dan menganggap udara cukup longgar
untuk minum dan makan, kawin dan mengawinkan.

(Tuhan tertawa dengan api yang memagari
surga-Nya. Di Eden, 6.000 tahun lalu, ada
hewan terbantai berdarah, dan kulitnya dikenakan
pada Adam dan Hawa).

Yogya, 1990


Category Article