WAYANG
Ajip Rosidi
Bayang-bayang yang digerakkan sang dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya tinggal terkenangShare
Puisi Tentang Wayang | Puisi Tema Wayang
Puisi Pendek Tema Kolam | Ajip Rosidi
KOLAM
Ajip Rosidi
Ikan-ikan berenangan dalam kolam yang bening-bening
Tak tepercik niat meloncat menerjang langit luas terbentangShare
Puisi tentang Sungai | Puisi Pendek Penyair Indonesia
SUNGAI
Ajip Rosidi
Dari hulu hingga ke muara, berapa kali ganti nama?
Air yang mengalir sama juga, hanya saja bertukar warnaShare
Puisi Pendek Dua Baris Tema Matahari
MATAHARI
Ajip Rosidi
Kutembus mega yang putih, yang kelabu, yang hitam sekali
Di baliknya kucari yang terang : Sinar si matahari!Share
Puisi Tentang Lukisan | Di Depan Lukisan Sadali
DI DEPAN LUKISAN SADALI
Ajip Rosidi
Dalam keindahan kutemukan keheningan
dan dalam keheningan kudapati kesalihan
Kumpulan sajak Ajip Rosidi "Sajak-Sajak Anak Matahari"Share
Puisi Tema Nisan | Kauukur Hidup: Cuma Sampai Situ !
Puisi Pertemuan Dua Orang Sufi
PERTEMUAN DUA ORANG SUFI
Ajip Rosidi
Ketika keduanya berpapasan, tak sepatah pun kata teguran
Hanya dua pasang mata yang tajam bersitatapan
Suhrawardi atas kuda : "Betapa dalam kulihat
Samudra segala hakikat!"
Dan Muhyiddin di atas keledai: "Betapa fana dia
yang setia menjalani teladan Rasulnya."
Ketika keduanya bertemu, tak pun kata-kata salam
Tapi keduanya telah sefaham dalam diam.
Kumpulan sajak Ajip Rosidi "Ingat Aku dalam Doamu"Share
Puisi Puisi Rendra | KUPANGGIL NAMAMU
KUPANGGIL NAMAMU
WS Rendra
Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengarku?
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia
Tak ada yang bisa kujangkau
Sempurnalah kesepianku.
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.
Berulang kali kupanggil namamu
Di manakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggil namamu.
Kupanggil namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan ?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan hal yang besar saja.
Seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak
Aku tak bisa kembali.
Sambil terus memanggil namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
Penuh. Dan Prawan.
Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.
Kumpulan sajak Rendra "Blues untuk Bonnie"
Tak Bisa Kulupakan
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
sedapnya daun gugur, lembutnya lumut cendawan.
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
muramnya kasih gugur, lembutnya kecup penghabisan.
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
muramnya senyum hancur, lembutnya kubur ketiduran.
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
meski ditikam dalam-dalam, tak bisa kulupakan.
sedapnya daun gugur, lembutnya lumut cendawan.
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
muramnya kasih gugur, lembutnya kecup penghabisan.
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
muramnya senyum hancur, lembutnya kubur ketiduran.
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
meski ditikam dalam-dalam, tak bisa kulupakan.
Puisi Rendra | Remang-remang
Remang-remang
WS Rendra
Di jalan remang-remang ada bayangan remang-remang
aku bimbang apa kabut apa orang.
DI langit remang-remang ada satu mata kelabu
aku bimbang apa cinta apa dendam menungguku.
Di padang remang-remang ada kesunyian tanpa hati
aku bimbang malam ini siapa bakal mati.
DI udara remang-remang ada pengkhianatan membayang selalu.
Wahai, betapa remang-remangnya jalan panjang di hatiku.
Puisi Tamu | Puisi Bertema Tamu
Tamu
Ws Rendra
Dari mula hadir dan semerbak
aku percaya bukan racun dupa dan sedap malam -
duka lembut yang datang dari luka tersibak:
kenangan yang menang kerna diri terbenam.
(Kenangan malam, tak bisa ku tidur bila kau datang!)
Ah, candu kenikmatan dari luka!
Duka itu bagai orang tua yang tenang berkata:
"Willy sedang nulis Malam Stanza!"
Puisi Burung Terbakar | Ws Rendra
Burung Terbakar
WS Rendra
Ada burung terbang dengan sayap terbakar
dan terbang dengan dendam dan sakit hati.
Gulita pada mata serta nafsu pada cakar.
Mengalir arus pedih yang cuma berakhir di mati.
Wahai, sayap terbakar dan gulita pada mata.
Orang buangan tak bisa lunak oleh kata.
Dengan sayap terbakar dan sakit hati tak terduga
si burung yang malang terbang di sini: di dada!
Puisi Mata Anjing
Mata Anjing
WS Rendra
Mata anjing penuh sinar nafsu maling.
Bila malam jahat di langit penuh mata anjing.
Sorot mata penuh duga dan cedera
maksud-maksud dalam kedok dan kata bermakna dua.
Mata anjing muncul di malam tak terelakkan.
Mata anjing menatap dengan rahasia tanpa ungkapan.
Wahai, Gadis yang tak kucinta dan menangis berguling
dalam ciuman kulihat padamu dua sorot mata anjing.
Puisi Terpisah | WS Rendra
TerpisahWS Rendra
Racun lagu duka merambat di kelengangan malam kota.
Lampu jalanan dipingsankan hujan.
Berbaringan rumah-rumah wajahmu di temboknya.
Kesepian seperti sepatu besi.
Menekur semua menekur dikhianati bulan.
Engkau bulan lelap tidur di hatiku.
Oleh sepi diriku dirampas jalan raya.
Semua didindingi kelam dan kedinginan.
Maut atau ribamu di ujung jalan itu.
Digenangi air adalah racun duka adalah wajahmu.
Rumpun Alang-alang | Ws Rendra
Rumpun Alang-alang
WS Rendra
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan,
Sayang.
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku
yang malang.
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal.
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal.
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa.
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada.
Malam Jahat | Puisi Bertema Malam
Malam Jahat
Ws Rendra
Malam dengan langit tanpa buahan
dan suara itu bukanlah angin puputan
tersebar ratapan perempuan sial
bagai merayap di atas jalan yang kekal.
Lelaki keluar ambang sendirian
burung hitam banyak hinggapan
sekali melangkah kakinya besi
dituruti jalan sangsi yang abadi.
Spada
He, kakak yang berjalan ke timur itu
palingkan kepalamu bongkah batu
kerna dalam gelap yang menelanmu
aku bimbang apa kau lakiku!
Ada khianat dan angkuh antara kita
tertahan ku ngejar, bisaku cuma nyapa.
Spada! Hai! Teriak angin di dada: Spada!
Bila kau lelakiku yang serong, berpalinglah kiranya.
palingkan kepalamu bongkah batu
kerna dalam gelap yang menelanmu
aku bimbang apa kau lakiku!
Ada khianat dan angkuh antara kita
tertahan ku ngejar, bisaku cuma nyapa.
Spada! Hai! Teriak angin di dada: Spada!
Bila kau lelakiku yang serong, berpalinglah kiranya.
Perempuan yang Menunggu | Puisi Tentang Perempuan
Perempuan yang Menunggu
Ws Rendra
Orang yang menunggu
dan mengarungi waktu
hati padang tanpa bunga
udara dan batu sekali dikandungnya.
Sepi terbaring pada malam dan pagi
menyiksa racun jemu yang abadi.
la duduk di atas luka
berbelai dengan hawa ia berkata:
Saya sudah tua, dan
disuruh saya:
Duduk saja di sana!
Dan menanti!
Tanpa Garam
Aku telah berjalan antara orang-orang tak berdosa
jemari lembut awan, airmata susu bunda.
Telah datang anak putri langit tak berdosa
lenggang gentayang putri lesi tanpa manja.
Ah, kina dalam kuwe manisan!
Kayumanis dan panili pengkhianatan!
Lewatlah yang pucat, kuhindarkan cekikan.
Kata alam tersekat dan menekan pingsan.
jemari lembut awan, airmata susu bunda.
Telah datang anak putri langit tak berdosa
lenggang gentayang putri lesi tanpa manja.
Ah, kina dalam kuwe manisan!
Kayumanis dan panili pengkhianatan!
Lewatlah yang pucat, kuhindarkan cekikan.
Kata alam tersekat dan menekan pingsan.
Setelah Pengakuan Dosa
Setelah Pengakuan Dosa
Ws Rendra
Telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu
kausiram air mawar dari lukamu.
Burung malam lari dari subuh.
Kijang yang lumpish butuh berteduh.
Di langit tangan-tangan tembaga terulur
memanjang barat-timur bukit-bukit kapur.
Tuhan adalah bunga-bunga mawar yang ramah.
Tuhan adalah burung kecil berhati merah.
Puisi "Malam Stanza"
Waktu | Puisi Tentang Waktu
Waktu
Ws Rendra
Waktu seperti burung tanpa hinggapan
melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan
sayap-sayap mu'jizat terkebar dengan cekatan
Waktu seperti butir-butir air
dengan nyanyi dan tangis angin silir
berpejam mata dan pelesir tanpa akhir.
Dan waktu juga seperti pawang tua
menunjuk arah cinta dan arah keranda.
Puisi Kehilangan | la Telah Pergi
la Telah Pergi
Ws Rendra
la telah pergi
lewat jalannya kali.
la telah pergi
searah dengan mentari.
Semua lelaki ninggalkan ibu
dan ia masuk serdadu.
Kemudian ia kembang di perang;
dan tertelentang. Bagi lain orang.
Kumpulan Sajak "Malam Stanza"
Puisi Bumi Hangus | Ws Rendra
Bumi Hangus
WS Rendra
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
Kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
bimbang kalbu oleh cedera
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
hari ini maut giliran siapa?
Kangen | Puisi Kangen Ws Rendra
Kangen
Ws Rendra
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
Ibunda | Puisi Berjudul Ibu
Ibunda
Ws Rendra
Engkau adalah bumi, Mama
aku adalah angin yang kembara.
Engkau adalah kesuburan
atau restu atau kerbau bantaian.
Kuciumi wajahmu wangi kopi
dan juga kuinjaki sambil pergi
kerna wajah bunda adalah bumi.
Cinta dan korban tak bisa dibagi.
Puisi Tidurlah Intan | WS Rendra
Tidurlah Intan
WS Rendra
Si gadis menyanyi "Tidurlah Intan"
dan padanya ada yang ditimang di pangkuan.
"Burung yang manis jangan tualang
minumlah air rinduku sayang.
Mata cerlang aduan rindu dan dendam
mata air yang meminta diri tenggelam"
Adapun yang tergolek di pangkuan
bukan apa selain kenangan.
Dongeng Pahlawan | Puisi Puisi Tentang Pahlawan
Dongeng Pahlawan
Ws Rendra
Pahlawan telah berperang dengan panji-panji
berkuda terbang dan menangkan putri.
Pahlawan kita adalah lembu jantan
melindungi padang dan kaum perempuan.
Pahlawan melangkah dengan baju-baju sutra.
Malam tiba, angin tiba, ia pun tiba.
Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi
kerna pahlawan telah berkunjung di tiap hati.
Lagu Serdadu | Puisi Tema Perjuangan
Lagu Serdadu
Ws Rendra
Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang.
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak!
Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali.
Wahai, tanah yang baik untuk mati!
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukillah ia bagi putraku di rumah.
Lagu Ibu
Lagu Ibu
Ws Rendra
Angin kencang datang tak terduga.
Angin kencang mengandung pedas mrica.
Bagai kawanan lembu langit tanpa perempuan.
Kawanan arus sedih dalam pusaran.
Ditumbukinya padas dan batu-batuan.
Tahu kefanaan, ia pergi tanpa tinggalan.
Angin kencang adalah birahi, sepi dan malapetaka.
Betapa kencang serupa putraku yang jauh tak terduga.
Lagu Angin
Lagu Angin
WS Rendra
Jika aku pergi ke timur
arahku jauh, ya, ke timur.
Jika aku masuk ke hutan
aku disayang, ya, di hutan.
Aku pergi dan kakiku adalah hatiku.
Sekali pergi menolak rindu.
Ada duka, pedih dan airmata biru
tapi aku menolak rindu.
Lagu Sangsi
Lagu Sangsi
WS Rendra
Hati lelaki yang terbagi
adalah daging dibajak sangsi.
Hati yang hidup untuk dua bunga
adalah kali tersobek dua.
Kali yang terbagi menjulur ke barat dan ke timur
betapa lembut ia ngluncur tanpa tidur.
Ah, kali hitam tanpa buih dan sinar
begitu tohor tapi tak berdasar.
Lagu Duka
Lagu Duka
WS Rendra
la datang tanpa mengetuk lalu merangkulku
adapun ia yang licik bernama duka.
Ia bulan jingga neraka langit dadaku
adapun ia yang laknat bernama duka.
Ia keranda cendana dan bunga-bunga sutra ungu
adapun ia yang manis bernama duka.
la tinggal lelucon setelah ciuman panjang
adapun ia yang malang bernama duka.
Burung Hitam
Burung Hitam
WS Rendra
Burung hitam manis dari hatiku
betapa cekatan dan rindu sepi syahdu.
Burung hitam adalah buah pohonan.
Burung hitam di dada adalah bebungaan.
Ia minum pada kali yang disayang
ia tidur di daunan bergoyang.
la bukanlah dari duka meski is burung hitam
Burung hitam adalah cintaku padamu yang terpendam.
Surat Kepada Bunda | WS Rendra
SURAT KEPADA BUNDA
Ws Rendra,
Tentang Calon Menantunya
Mamma yang tercinta,
akhirnya kutemukan juga jodohku
seseorang yang bagai kau:
sederhana dalam tingkah dan bicara
serta sangat menyayangiku.
Terpupuslah sudah masa-masa sepiku.
Hendaknya berhenti gemetar rusuh
hatimu yang baik itu
yang selalu mencintaiku.
Kerna kapal yang berlayar
telah berlabuh dan ditambatkan.
Dan sepatu yang berat serta nakal
yang dulu biasa menempuh
jalan-jalan yang mengkhawatirkan
dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara,
kini telah aku lepaskan
dan berganti dengan sandal rumah
yang tenteram, jinak dan sederhana.
Mamma,
Burung dara jantan yang nakal
yang sejak dulu kaupiara
kini terbang dan telah menemu jodohnya.
la telah meninggalkan kandang yang kaubuatkan
dan tiada akan pulang
buat selama-lamanya.
Ibuku,
Aku telah menemukan jodohku.
Janganlah kau cemburu.
Hendaknya hatimu yang baik itu mengerti:
pada waktunya, aku mesti kaulepaskan pergi.
Begitu kata alam. Begitu kau mengerti:
Bagai dulu bundamu melepas kau
kawin dengan ayahku. Dan bagai
bunda ayahku melepaskannya
untuk mengawinimu.
Tentu sangatlah berat.
Tetapi itu harus, Mamma!
Dan akhirnya tak akan begitu berat
apabila telah dimengerti
apabila telah disadari.
Hari Sabtu yang akan datang
aku akan membawanya kepadamu.
Ciumlah kedua pipinya
berilah tanda salib di dahinya
dan panggillah ia dengan kata: Anakku!
Bila malam telah datang
kisahkan padanya
riwayat para leluhur kita
yang ternama dan perkasa.
Dan biarkan ia nanti
tidur di sampingmu.
la pun anakmu.
Sekali waktu nanti
ia akan melahirkan cucu-cucumu.
Mereka akan sehat-sehat dan lucu-lucu.
Dan kepada mereka
ibunya akan bercerita
riwayat yang baik tentang nenek mereka:
bunda-bapak mereka.
Ciuman abadi
dari anak lelakimu yang jauh,
Willy.
SERENADA MERAH PADAM
SERENADA MERAH PADAM
WS Rendra
Sekawan kucing
berpasang-pasangan
mengeyong di kegelapan.
Sekawan kucing
mengeyong dengan bising
mengeyong dengan panas
di kegelapan.
Manisku! Manisku!
Sekawan kucing
berpasang-pasang
saling menggosokkan tubuhnya
di kegelapan.
Seekor kucing jantan
menyapukan kumisnya yang keras
ke bulu perut betinanya.
Maka yang betina berguling-guling
di atas debu tanah.
Menggeliat dan berguling-guling
tak terang pandang matanya.
Serta dari mulutnya
keluar suara panjang,
kerna telah dilemahkan
seluruh urat badannya.
Manisku! Manisku!
Dengarlah bunyi kucing
mengganas di kegelapan.
Seekor kucing jantan
menggeram dengan dalam
di leher betinanya.
Maka
selagi sang betina kecapaian
ia pun menyeringai
di kegelapan.
SERENADA KELABU
SERENADA KELABU
WS Rendra
1
Bagai daun yang melayang.
Bagai burung dalam angin.
Bagai ikan dalam pusaran.
Ingin kudengar beritamu!
2
Ketika melewati kali
terbayang gelakmu.
Ketika melewati rumputan
terbayang segala kenangan.
Awan lewat indah sekali.
Angin datang lembut sekali.
Gambar-gambar di rumah penuh arti.
Pintu pun kubuka lebar-lebar.
Ketika aku duduk makan
kuingin benar bersama dirimu.
KUMPULAN PUISI WS RENDRA - SERENADA HITAM
SERENADA HITAM
Ws Rendra
1
Aku akan masuk ke dalam hutan.
Lari ke dalam hutan.
Menangis ke dalam hutan.
Kerna mereka telah memisahkan kami:
aku dan Panjiku:
Akan kuurai sanggul rambutku
tergerai
bagai ratap tangis dan dukaku.
Nasib telah menikam diriku dari belakar
Nasib telah memeras mataku.
Dan menjalar kuman-kuman yang gatal
di kedua susuku.
Wahai, mereka telah mengungkai
sebuah dada yang bidang
dari pelukanku!
Panji adalah pelita gemerlap
bersinar dalam puriku.
Kini betapa gelap puriku
tiada lagi berlampu.
Aku akan masuk ke dalam hutan.
Lari ke dalam hutan.
Mengapa mereka rintangi
cinta yang tak'kan terpisahkan?
Mengapa mereka bendungi
derasnya arus air kali?
Wahai, betapa gelap puriku
tiada lagi berlampu.
Aku akan masuk ke dalam hutan.
Lari ke dalam hutan.
Menangis ke dalam hutan.
Akan kutempuh
ujung pisau pengkhianatan.
Akan kutantang
kuburan kedengkian.
Karena puriku tiada lagi berlampu.
2
Kemari; Kemarilah, Manisku!
Tengadahlah memandang mataku
dan kuciumi seluruh wajahmu.
Diamlah, Candra Kirana, Kekasihku!
Cinta tak bisa dipisahkan
api tak terpadamkan.
Akan kutantang segala rintangan
tanpa lari ke dalam hutan.
Bangkitlah dari ratap tangismu.
Akan kupeluk di tempat lapang.
Kubimbing tanganmu
di bawah langit dan terang.
Cinta yang tidur dalam kesedihan,
ketika bangkit menemu mentari yang gemilang.
Marilah, Candra Kirana!
Kita rampas kemenangan
dan kita tepiskan kematian.
0, betapa kubenci kehancuran
dan kuyakin hari yang gemilang.
Kemarilah, Candra Kirana!
Lelakimu di sini:
pohon pautan tempat berpegang.
Keluarlah dari hutan!
Di sini kita kawin.
Di sini kita berpelukan.
DI bawah mentari.
Di bawah langit siang.
3
Kami tak dapat dipisahkan:
Caedra Kirana dan Panji.
Kami cantik, tampan dan remaja.
Mentari adalah hakim percintaan.
Cinta yang berjalan dalam duka cita
tetap menatap ke muka
dan akan menemu perumahan yang aman.
Menepislah pengkhianatan.
Menepislah kematian.
Kami akan gigih biar karatan.
Dan percaya akan kemenangan
biarpun di atas kuburan.
Tak ada maut bagi cinta.
Tak ada kelayuan
bagi bunga kehidupan.
WS RENDRA - SERENADA PUTIH
SERENADA PUTIH
WS Rendra
Kesepiannya mengurung jerit hatinya.
Pandangnya yang dirahasiakan
terasa juga oleh lelaki itu.
DI jalan orang memetik gitar
cecak di tembok
dan rindu di hatinya:
bagai bayang-bayangnya yang gelap.
Ketika terdengar
bunyi lonceng tembok
lelaki itu memandangnya.
la pun menunduk.
Tergerai rambutnya
bagai malam.
Gadis yang sangsi pada diri
memendam segala rasa
dalam berpura.
Terkunci mulutnya.
Menunduk matanya.
Semakin berpura
semakin panas ia.
Rindunya murni
bagai permata belum diasah
bagai rahasia belum disingkapkan.
Cecak berbunyi dalam kantuknya
dan gemetarlah sepi
di kamar itu.
Lelaki itu menjamahnya
dan membisikkan kata-kata
dengan napas yang melemaskan.
Angin menumbuki kaca jendela.
Sepatu terantuk kaki meja.
Maka:
dalam pelukan gemetar
pertukaran napas ganas
menemu kuncinya.
Lalu:
cium pertamanya.
Kemudian:
dikatakanlah segalanya.
DI BAWAH BULAN | Puisi Rendra Tentang Perjumpaan
DI BAWAH BULAN
Ws Rendra
Ketika sebuah suara
memanggil namanya
ia hentikan langkahnya.
Rumpun pohonan remang-remang
mahkota cahaya di pucuk daunnya.
la tak lihat orangnya
tapi suara dikenalnya.
Ketika bulan menjenguknya
tampak pipinya
bagai kelopak angsoka
kerna darah naik
ke muka dan bulu kuduknya.
Terdengar cengkerik berpacaran
pucuk-pucuk cemara bergeseran.
Ketika sebuah suara
memanggil namanya
ia pun tahu
siapa menunggunya.
Cahaya lembut memabukkan
angin meniup tepi kainnya.
Ketika sebuah tangan kuat
meraba pundaknya
menyerahlah ia.
SAJAK WS RENDRA - SERENADA VIOLET
SERENADA VIOLET
Ws Rendra
Lalu terdengarlah suara
di balik semak itu
sedang bulan merah mabuk
dan angin dari selatan.
Lalu terbawa bauan sedap
bersama desahan lembut
sedang serangga bersiuran
di dalam bayangan gelap.
Tujuh pasang mata peri
terpejam di pohonan.
Dengan suara-suara lembut aneh
dan bau sedap dari jauhan
datanglah fantasi malam.
Lalu terdengarlah suara
di balik semak itu
pucuk rumput bergetaran
kali mengalir tanpa sadar.
Sebuah pasangan
telah dikawinkan bulan.
EPISODE
EPISODE
WS Rendra
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya
pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
"Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?"
Aku hanya tertawa.
lau ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
SERENADA BIRU
SERENADA BIRU
WS Rendra
1
Alang-alang dan rumputan
bulan mabuk diatasnya.
Alang-alang dan rumputan
angin membawa bau rambutnya
2
Mega putih
selalu berubah rupa
membayangkan rupa
yang datang derita.
3
Ketika hujan datang
malamnya sudah tua:
angin sangat garang
dinginnya tak terkira
Aku bangkit dari tidurku
dan menatap langit kelabu.
Wahai, janganlah angin itu
menyingkap selimut kekasihku!
PANTUN BULAN PURNAMA
PANTUN BULAN PURNAMA
Ajip Rosidi
Di atas Mino bulan purnama
langit bersih terang sekali;
Menyebut nama memuja nama
hanya engkau di dalam hati
Bulan purnama meskipun terang
kalah oleh cahaya lilin;
Kasihku hanya engkau seorang
tak nanti ada yang lain
Bulan Purnama di atas bukit
cahaya menerangi kebun bambu;
Tanpa engkau hidup jadi pahit
segala yang lain hanyalah batu
Bulan purnama bulan perbani
Bulan gerhana kentongan dipalu;
Baru hidupku mengandung arti
bila denganmu aku bertemu
PANTUN TANJUNG KATUNG
PANTUN TANJUNG KATUNG
Ajip Rosidi
Tanjung Katung airnya biru
kalau boleh menumpang mandi;
Hidup selalu memendam rindu
bertemu denganmu meski sekali
Tanjung Katung airnya biru
tempat gadis berenang-renang;
Hidup selalu menanggung rindu
hanya padamu aku terkenang
Tanjung Katung airnya biru
berkecimpung simbur-simburan;
Hati selalu ingat yang satu
kian dekat dengan kuburan
Tanjung Katung airnya biru
lautnya dalam langitnya jernih;
Hati selalu ingat padamu
semakin kuat terpaut kasih
PANTUN HUJAN GERIMIS
PANTUN HUJAN GERIMIS
Ajip Rosidi
Hujan gerimis sepanjang hari
angin bertiup dari Tenggara;
Hati menangis tersedan tak henti
karena hidup sebatang kara
Angin bertiup kencang sekali
kilat menyambar guruh bergegar;
Tersedan sunyi di bumi sepi
seorang diri hidup terlantar
Kilat menyambar guruh bergegar
tak ada tempat sembunyi
Seruanku pilu tak kaudengar
terlempar aku ke jurang sunyi
PANTUN HARI LEBARAN | Pantun Tentang Lebaran
PANTUN HARI LEBARAN
Ajip Rosidi
Pada hari Lebaran ramai takbiran
sepanjang malam tiada henti;
Hidup fana berakhir di kuburan
merindukan engkau sebelum mati
Hari Lebaran bermaaf-maafan
menghapus dosa lahir dan batin
Kalau dengan engkau berhadapan
tidak kuharap lagi yang lain
Hari Lebaran hari yang suci
saat manusia menjadi fitri;
Harap engkau menerimaku kembali
setelah sesat lepas kendali
Saat manusia menjadi fitri
segala dosanya Kauampuni
Setelah sesat di bumi keji
mencari ridhoMu di langit hati.
PANTUN DARI KYOTO
PANTUN DARI KYOTO
Ajip Rosidi
Kyoto kota seribu jinja
tujuan orang berwisata
menonton matsuri sepanjang hari;
Hidup sejahtera di dunia
tanpa engkau tidak bermakna
seperti terbuang ke lorong sunyi
Dalam istana peninggalan Shogun
taman luas pohon pun rindang
benteng dan parit di sekelilingnya;
Mencari engkau bertahun-tahun
tiada henti malam dan siang
namun engkau tetap rahasia
Benteng dan parit mengelilingi
menjaga dari serangan musuh
meski jumlahnya beratus ribu;
Hidup terasa tak punya arti
karena engkau terlalu jauh
entah dimana aku tak tahu
Jinja : Bangunan suci penganut Sinto, seperti gerej abagi orang kristen
Matsuri : Festival
Shogun : Panglima militer penguasa sebenarnya di Jepang ketika Kaisar (Tenno) hanya sebagai lambang
Contoh Puisi Kemerdekaan | KEMERDEKAAN SEMU
KEMERDEKAAN SEMU
Basilius Andreas Gas
Kemerdekaan semu menghinggap
Bukan diraih karena tetes perjuangan
Dengan motto "Sampai Titik Darah Penghabisan"
Atau gelora pembangkit semangat "Rawe-rawe
rantas, malang-malang putung"
Entah benar atau tidak ejaan pun ku tak tahu
Kemerdekaan semu dirasa
Bukan karena ingin bebas dari belenggu jajahan
Tapi karena merasa lebih bebas
Entah mengapa...
Bebaskah?
Kemerdekaan...
Yah, itulah istilah yang kuguna
Kemerdekaan yang sebenarnya memalukan
Kemerdekaan yang sebenarnya tak boleh kuulang
Kemerdekaan yang bisa keblabasan
2005
HIDUP SAAT MATI
HIDUP SAAT MATI
Basilus Andreas Gas
Jejak telapak kaki dari kali
Mengkerut kering ditelan detik
Dan disana tergambar nyata yang ada
menumpah segala jalan
Tak bermakna dilicin porselin
Gemerincing logam berganti gemerutuk
Ketika menjatuhi kerak kering
Telapak kaki yang ditinggalkan kesan
Gambaran sejuta nyata dihidup
Kekal hidup dibawa
Mati, habislah cerita
Ceritanya tak habis dimulut cucu
Terus bersambut dari luar garis
Sekarang pun telapak kaki
Tak berujung pangkal diletakkan
2005
PELABUHAN KUTARAJA
PELABUHAN KUTARAJA
Sulaiman Juned
Ombak bergulung
Membawa derita duka
Suara peluit kapal
Mengoyakkan hati
Krueng raya, 1989
Kutaraja = nama Banda Aceh Dahulu
SEPANJANG TITI LAMNYONG
SEPANJANG TITI LAMNYONG
Sulaiman Juned
Entah siapa lagi berdiri di malam sunyi
Tatapan butir hitam menikam jantung
Meledakkan rasa yang terkandung syair
(Tuhan ! aku rindu pada ikan-ikan di kolam)
Banda Aceh, 1990
Lamnyong = Jembatan Lamnyong
Puisi Untuk Duka Aceh | Medy Loekito
UNTUK DUKA ACEH
Medy Loekito :
Ombak sepi
Menggapai mesjid
Alpa mengucap salam
Januari, 2005
KENANGAN AKAN ZUBAEDAH
KENANGAN AKAN ZUBAEDAH
Medy Loekito :
Boneka tak berkaki
menepi di denyut alir
tatapnya menyeru
Diamnya mencari
Lengan mungil yang dulu memeluk
Lengan mungil berlumpur
Menepi di hentak air
Diamnya merindu
Pedihnya mencari
Kawan kecil yang dulu bersama
Januari, 2005
DARI MENARA MESJID
DARI MENARA MESJID
Medy Loekito
Ada bisik
Dari menara mesjid
"kucipta hati
untuk membimbing pikir
kucipta pikir
untuk membimbing rasa"
Januari, 2005
Puisi Tentang Duka | DUKA ITU
DUKA ITU
Medy Loekito
(1)
bibir ombak
menyayat tanah
melukai jiwa
(2)
berumah di doa
luka di basuh
misteri di cipta
(3)
yang pergi
terkasih
yang datang
airmata
Januari 2005
BATEE PUTEH | Puisi Mengenang Pahlawan
BATEE PUTEH
Yunimar W. Yusuf :
Riak ombak yang dulu mengalun lembut
Bagai memori dalam mimpi
Lenguh sapi yang merdu
Bagai gemuruh di tengah hari
Membantai pesisir putih menipis
Ketika waktu mengutuki hari-hari yang panjang
Dalam buaian yang tak lagi menina-bobokan
Seorang lelaki perkasa yang gugur
Terbungkus belenggu dendam pada sebuah
Perjuangan yang meminta tumbal nyawa
Di sini kutemukan kepahitan
Ketika pantai putihku tak lagi menawarkan
Damai dalam rindu
Rindu dalam cinta
Cinta sesamanya
Kini batee putehku hanya kenangan
Masa lampau yang penuh heroisme dan ketenangan
Karena deburmu tak lagi memukau
Desah ombaknya bukan lagi nyanyian
Semua telah diserakahi ganasnya ombak
Yang meraup pesisir bersamanya
Lalu meluapkan amarah dan memuntahkan dendam ke tepian
Batee putehku
Akankah hari-harimu kembali seperti dulu
Menawarkan janji-janji manis bagi nelayan
Menjanjikan keteduhan bagi kita semua
Sampai, sampai
Karena di bumi, di tanah ini sayang
kita jejaki
belum sempurna janji
janji alam, dan diri
1987
Batee Puteh - nama pantai menjelang masuk kota meulaboh, disinilah Teuku Umar Johan Pahlawan gugur saat bertempur melawan penjajah Belanda.
PELABUHAN
PELABUHAN
Yunimar W. Yusuf
Malam menyulam senyum lirih
Menyimpulkan desah pada liuk dedaunan
Berderik di ranting rapuh
Saat-saat malam menyulam kelu
Hadirkan pagutan
Langit
Bumi
Membisu
Ada sebaris rindu memburu
Namun hinggarku bukan jawaban
Hanya gemuruh sebagai pembatas
Sementara asa terus tertikam
Malam-malam menyulam rindu
Padahal pesisir kian menjauh
Padahal janji-janji kian belum ku tuai
Ketika pilarku tiba-tiba runtuh
Terbanting ke atas cadas
Pelabuhanku merapatlah
Walau tak pernah ada harap
Di penghujungnya
1995
Puisi Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami Aceh
TSUNAMI (2)
Arafat Nur :
seusai badai gelombang
di pantai itu aku menemui
seorang lelaki tua
Khidir namanya
lantas kakek kurus itu bercerita
muatan perahu Nuh sudah penuh
ia hanya sebentar singgah di sini
membawa beberapa anak dan orang dewasa
berlabuh ke surga
sayang, jumlahnya sedikit saja
Lhokseumawe, 07 Januari 2005
Puisi Bencana Alam Tsunami
TSUNAMI (1)
Arafat Nur :
Seharusnya kubuat kapal besar
di puncak gedung bertingkat itu
tapi sebelumnya tak ada pertanda
juga isyarat lainnya
badai gelombang itu datang tiba-tiba
bahkan sesudah gempa
tak ada senggang waktu untuk mengira
aku hanya bisa berharap
ada kapal besar yang lewat
tapi sudah lama sekali
kapal Nuh tidak berlayar lagi
Lhokseumawe, 07 Januari 2005
Seharusnya Berjudul Celana Dalam
Cerpen Etik Juwita
Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.
"Cundaliiii!!" jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya.
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!" jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.
***
"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo.***
Hong Kong, 24 April 2005
Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.
"Cundaliiii!!" jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya.
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!" jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.
***
"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo.***
Hong Kong, 24 April 2005
PANTUN HARI JUMAT
PANTUN HARI JUMAT
Ajip Rosidi
Pergi ke kobe setiap jum'at
dengan kereta dari Umeda;
Mencari engkau setiap salat
sampai atahiat tidak berjumpa
Naik kereta dari Umeda
lalu turun di Sannomiya;
Meski berjumpa kita tiada
namun engkau kucari juga
Waktu pulang dari Sannomiya
aku turun di Kitasenri
Meski di mana engkau berada
namun tetap akan kucari
Waktu turun di Kitasenri
aku berjalan seorang diri;
Engkau kan tetap kucari
meski harus melintasi mati
PANTUN MUSIM PANAS
PANTUN MUSIM PANAS
Ajip Rosidi
Matahari terik membakar jangat
tiada tempat kan berteduh;
Meski engkau selalu kuingat
namun rasanya terlalu jauh
Tiada tempat kan berteduh
tiada tempat kan berlindung;
Engkau terasa terlalu jauh
di atas awan kau terapung
Tiada tempat kan berlindung
pohon pinang tegak berdiri;
Di atas awan kau mengapung
membiarkan aku kecil sendiri
PANTUN MUSIM BUNGA
PANTUN MUSIM PANAS
Ajip Rosidi
Bunga sakura mekar
hawa dingin menjadi hangat
Dalam hidup segala yang sukar
menjadi kayu pembakar semangat
Musim dingin pemandangan berubah
segala menjadi segar dan hijau;
Kalau hidup menemu susah
hanya padamu aku mengimbau
Sakura mekar hanya sebentar
cepat gugur karena hujan
kalau engkau tidak mendengar
hati pilu berkepanjangan
PANTUN MUSIM DINGIN
PANTUN MUSIM DINGIN
Ajip Rosidi
Di musim dingin salju pun turun
hanya hamparan putih terlihat;
Usia bertambah dari tahun ke tahun
kian dekat ke liang lahat
Di musim dingin salju semata
bumi beku pohon-pohon gundul;
Kalau waktunya kelak tiba
apakah denganmu kan berkumpul
Di musim dingin segalanya sepi
burung terbang menembus mega;
Tak penasaran aku kan mati
asal denganmu dapat berjumpa
PANTUN MUSIM RONTOK
PANTUN MUSIM RONTOK
Ajip Rosidi
Di musim rontok daun berubah warna
menjadi kuning, merah, lalu berguguran;
Dalam hidup tak terasa usia menjadi tua
sedang denganmu tak sempat berteguran
Angin dingin mulai keras meniup
suhu menurun dari hari ke hari;
jalan berliku sepanjang hidup
ketentuanmu penuh misteri
Di musim rontok di musim momiji *)
udara dingin daunpun gugur;
Kurenungi nasib penuh misteri
kasihmu tak henti mengucur
*) momiji, saat ketika daun-daun berubah warna
sebelum gugur pada musim rontok
PANTUN BURUNG MERPATI
PANTUN BURUNG MERPATI
Ajip Rosidi
Merpati si burung merpati
hinggap di dahan pohon beringin
Meski seribu tahun aku menanti
memandang wajahmu tetap kepingin
Merpati putih terbang tinggi
mencari air pengobat dahaga
Menanti kasih turun ke hati
dari sumbermu tak berhingga
Jinak-jinak burung merpati
mendekat mau tertangkap tidak;
Dekat, dekat engkau di hati
dengan mata tertampak tidak
PANTUN ANGIN BARAT
PANTUN ANGIN BARAT
Ajip Rosidi
Angin Barat angin Timur
bertiup kencang sepanjang hari;
Hendak mencari sepanjang umur
sampai ketemu di dalam hati
Angin Barat angin Timur
bolak-balik di lima benua;
Meski harus masuk ke kubur
namun engkau kucari jua
Angin Barat angin Timur
menghembus lautan dan daratan;
Meski dalam lahat aku terbujur
kau selalu dalam ingatan
PANTUN OSAKA NARA
PANTUN OSAKA NARA
Ajip Rosidi
Dari Osaka hendak ke Nara
berhenti sebentar di Ikoma;
Rindu hati tidak kentara
tapi zikir tetap bergema
Dari Osaka hendak ke Nara
kalau pulang membawa moci2);
Meski sama sekali tak bersuara
dalam hati tak kunjung henti
Taman Nara berhektar-hektar
banyak rusa sedang merumput;
Tak pernah lupa meski sebentar
walau engkau tidak menyahut
2) moci : Makanan Jepang terbuat dari beras pulut
yang ditumbuk sampai halus.
Uli (Melayu), ulen (Sunda), jadah (Jawa)
PANTUN TERANG BULAN
PANTUN TERANG BULAN
Ajip Rosidi
Terang bulan terang di kali
buaya timbul disangka mati;
Hidup di dunia hanya sekali
maka janjimu tetap kunanti
Terang bulan terang di kali
buaya timbul disangka mati;
Selama di dunia ingin sekali
engkau beraja di dalam hati
Buaya timbul disangka mati
hanyut ke hilir sampai muara;
Engkau beraja di dalam hati
imanku kukuh waswas pun musna
Hanyut ke hilir sampai muara
buaya memakan segala bangkai;
kalau iman kukuh sentausa
ku tak takut diterjang badai
PANTUN OMBAK
PANTUN OMBAK
Ajip Rosidi
Ombak selalu memburu pantai
Siang malam tak kunjung henti;
Tiap malam engkau kuintai
barangkali sembunyi di dalam hati
Ombak menerjang mencium pantai
namun tertahan rumpun bakau;
Dalam sujud airmata berderai
namun engkau tak terjangkau
Ombak bergulung di samudera
selalu bergelora haram diam;
Hati merenung terus bertanya
selalu diamuk rindu dan dendam
PANTUN ANAK AYAM
PANTUN ANAK AYAM
Ajip Rosidi
Anak ayam turun sepuluh
mati satu tinggal sembilan
Di hadiratmu aku bersimpuh
dengan airmata bercucuran
Anak ayam turun sembilan
mati satu tinggal delapan;
Dengan airmata bercucuran
mengetuk pintumu dengan harapan
Anak ayam turun delapan
mati satu tinggallah tujuh;
Mengetuk pintu penuh harapan
tapi engkau begitu jauh
Anak ayam turun tujuh
mati satu tinggallah enam
Entahlah dekat entahlah jauh
tak dapat kuduga lautan dalam
Anak ayam turun enam
mati satu tinggallah lima;
Kuketuk terus siang dan malam
namun diammu bikin kesima
Anak ayam turun lima
mati satu tinggalah empat;
Entah aku takkan kauterima
karena bersimbah peluh maksiat
Anak ayam turun empat
mati satu tinggal tiga;
Akan akhirat tidak teringat
karena terikat dunia fana
Anak ayam turun tiga
mati satu tinggallah dua;
Yang fana yang serba hingga
menenggelamkan diri dalam lupa
Anak ayam turun dua;
mati satu tinggal satu;
Aku menunggu pintumu terbuka
entah kapan aku tak tahu
Anak ayam turun satu
mati satu habis semua;
kalau kau tetap membisu
nasibku malang tersia-sia
SUASANA (2)
Seekor mainan kijang
duduk di atas kursi
hari itu
sudah dijanjikan
sebuah tamasa
Sedang bocah lelaki
diajar ibunya
mengucap selamat datang
ketika Bapa pulang
Diam-diam
mawar kembang di halaman
rumput
mencat mukanya
hijau dan cantik
Sebentar, waktu
Bapa kembali
pintu terbuka
vas di meja
mekar merah warna
selapis taplak sulam sutera
melambai tepinya:
Senyum di mana-mana.
duduk di atas kursi
hari itu
sudah dijanjikan
sebuah tamasa
Sedang bocah lelaki
diajar ibunya
mengucap selamat datang
ketika Bapa pulang
Diam-diam
mawar kembang di halaman
rumput
mencat mukanya
hijau dan cantik
Sebentar, waktu
Bapa kembali
pintu terbuka
vas di meja
mekar merah warna
selapis taplak sulam sutera
melambai tepinya:
Senyum di mana-mana.
Puisi Yang Terasing | Kuntowijoyo
YANG TERASING
Kuntowijoyo
Ada dinding-dinding di gedung
membagi ruang jadi dua:
engkau dan semesta
Kamar-kamar raksasa
menyimpan hidup
dalam kotak-kotak
Engkau terkapar di sana
terpaku di kursi
tangan ke lantai
dilingkar tembok baja
yang membungkus napasmu
Sedang di luar
hari berjalan sebagai biasa
lewat lorong luas
yang indah hiasannya
mengirim berkas matahari ke kamarmu
memancing duka.
Puisi Suasana | Puisi Tentang Suasana
SUASANA (1)
Kuntowijoyo
Yang serba kaca
sudah ditanam di kamar
cangkir dengan kopi di dalam
mengawasi pagi
membiarkan uap menyedap kamar
Bapa sedang memandikan bocah
terdengar air berkecibak
Ibu menyiapkan rahmat pagi
memerintah burung di luar
untuk menyanyi
dan angin pagi
melompat jendela
mendandani pipinya
Ingatlah, Ibu menyediakan
kopi dan pipi - untuk dicium
ketika bapa pergi
lunak kulitnya terasa
bagai tangan halus
menghapus sisa duka
Pagi semerbak oleh
wangi tubuhnya
mengantar bapa pergi bekerja.
1974
MENARA
MENARA
Kuntowijoyo
angin selatan
mendaki pucuk menara
meliukkan puncaknya
dua meter dari tanah
orang berkerumun
dengan mata silau
mengagumi kubah
alangkah indahnya
sungguhkah ini terjadi
dua puluh jari meraba
dua puluh ribu jari meraba
sebenarnya,sebenarnya
beginilah
kalau sudah tiba waktunya
menara pun
merendahkan diri
mencium tanganmu.
HARI KE n
HARI KE n
Kuntowijoyo
Hari ke n dari Adam dilahirkan
mega putih menyingkir ke tepi
langit terbuka
sederet burung undan
terbang di garis cakrawala
Tidak habisnya engkau memuji
hari itu di hutan
serigala mencumbu kijang
yang berubah jadi kencana
engkau duduk di tepi telaga
mengaca
bahkan engkau heran, mengapa
bibirmu tersenyum.
Contoh Puisi Lama | SANG UTUSAN
SANG UTUSAN
Kuntowijoyo
Dikabarkan
pada tanggal satu bulan Muharam
akan tiba Sang Utusan
dalam perjalanan kembali
menjenguk warganya
Mereka keluar dari rumah-rumah
berdiri di taman
menantikan
Bunga-bunga mawar di tangan
nyanyi kudus
dan detak-detak
harapan
Tidak.
la tidak mengikuti angin utara
ia lewat menurut ilhamnya.
Pulang, ia akan mengetuk pintumu.
Mereka saling memandang
barangkali itu benar
lalu kembali ke rumah
menaburkan mawar di ambang
menyimpan nyanyian
Malam tidak tidur
untuk di pagi hari
mereka temukan
jejak Sang Utusan
di halaman.
sajak sajak 1974 ISYARAT
Puisi Tentang Pemandangan | PEMANDANGAN SENJA
PEMANDANGAN SENJA
Kuntowijoyo
Dua ekor ikan
Menutup mata
Mereka lihat tanda
Air berhenti mengalir
Maka gugurlah kepercayaan
Perempuan menangis di jendela
Menghentikan pejalan
Lelaki tidak juga datang
Merpati di pucuk atap
Kesal menunggu senja
Menahan dingin
Mengharapkan bintang turun menyapa
Jauh di langit
Kelompok pipit mencari pohonan
Adakah masih tersedia daunan?
Mereka hanya berputar-putar.
Terasa juga malam ini
Lelaki tidak akan pulang
Barangkali sore harus dibatalkan
Tidak ada lagi:
Merpati harus tidur di awan
Pohonan sudah ditebang
Tidakkah kaudengar tidak ada lagi peradaban?
Puisi Tentang PEPOHONAN | Kuntowijoyo
PEPOHONAN
Kuntowijoyo
Sebagai layaknya pepohonan
menampung kenangan
dunia yang tergantung di awan
sudah sampai di simpang
Ada kubu terbungkus daunan
mengeluh pelan
memanjakan impian
Ayolah kubur dukamu di rumputan
senja sudah mendekat
malam berjalan merayap
engkau tentu mengharap bulan
Dalam pepohonan
yang berbuah rindu
aku mendengar
sesuatu yang tak kutahu
Namun aku suka padamu.
sajak sajak 1974 ISYARAT
PADA HARI YANG LAIN
PADA HARI YANG LAIN
Kuntowijoyo
Pada hari yang lain
di angkasa
seribu gagak raksasa
menyerbu matahari
menggugurkan batu-batu
terbang menutup ruang
Malaikat langit ketujuh
turun menghalau perusuh
menghunus pedang guntur
berkilat-kilat
darah mengucur hujan
langit amis kemerahan
Engkau di sini
di kebun semangka pinggir desa
bersama lima bidadari
mengajarmu menyanyi
dan merangkai puisi.
ENGKAU, SUKMA
ENGKAU, SUKMA
Kuntowijoyo
Sukmamu bangkit
Bagai bianglala
Berdiri
Di cakrawala
Merenda siang dalam impian
Gemerlap warna-warni benang sutra.
Badai tidak datang
Angin pulang ke pangkalan
Istirahat panjang.
Langit menyerah padamu
Menggagalkan lingkaran
Surya kabur kembali ke timur.
Sepi.
Hanya napasmu yang tenang
Terdengar bagai nyanyian.
PABRIK | Puisi Bertema Pabrik
PABRIK
Kuntowijoyo
Di sini dilahirkan raksasa
bertulang besi bersaraf baja
tidak perlu nyanyi
dan ninabobo bidadari
Berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan
melambaikan tangan
Aduh, jari-jarinya gemerlap bagai halilintar
Laki-laki dan perempuan
datang menghormat
ia pun mengulurkan tangan
untuk dicium.
Sesungguhnya ia dilahirkan dari rahim bumi
oleh tangan lelaki
Sesungguhnya ia dicipta dari tanah
untuk membantu ayah
menggembala kambing dan menyabit rumputan.
Sayang, mereka sangat memanjakannya
hingga raksasa itu jadi anak nakal
mengganggu ketenteraman tidur.
Awaslah, jangan lagi engkau melahirkan
anak-anak yang bakal jadi pembunuhmu.
MOBIL | Puisi Berjudul Mobil
MOBIL
Kuntowijoyo
Mobil-mobil sudah berangkat
pergi ke tengah kota
meninggalkan gas dan debu
terdengar mereka tertawa
karavan yang sempurna
Di pusat kota
di muara yang deras airnya
mereka labuh waktu
Aku menutup mata
tidak karena debu-debu
aku ingin melihat rumahku
dalam sunyi di tengah rimba kunang-kunang
Alangkah jelasnya, Tuhan, alangkah jelasnya.
MUSIM PANEN | Puisi Tentang Musim Panen
MUSIM PANEN
Kuntowijoyo
Setelah semusim
tangan-tangan sibuk
memotong pohonan
di kampung halaman
pak tani
mengundang anak-anaknya
memanen kolam
sudah waktu ikan dinaikkan
Segunduk matahari
menyingkirkan sepi
dari danau
mendorong sampan
berlayar dua-dua
Di bukit
batu sudah dipecah
sekejap saja, bagai hanya main-main
rumah-rumah berdiri
melindungi perempuan
melahirkan bayi
Hari itu derita dihapuskan
Keluarlah lelaki-perempuan
memainkan udara dengan selendang
menyulap siang dalam impian
warna-warni dan wewangi
Anak lelaki-perempuan
menabuh genderang
menyebar kenanga
memaksa matahari
berhenti di balik daunan
Malaikat dan bidadari
menonton tarian
senyum mereka
menyentuh pohonan
Semesta berpesta
di tengah hari
pada musim panen abadi.
Puisi Tema Pejalan | Kuntowijoyo
PEJALAN
Kuntowijoyo
Pejalan sudah kembali
mukanya pucat pasi
terbungkuk
di bawah kain lusuh
tak ada lagi cahya matanya
bergegas pulang
ke rumah yang tak jelas di mana
berhasrat keras melepas beban
yang lama mendera punggungnya
(rumahmu tidak di sini
tetapi jauh di dasar mimpi)
ia tercengang
tidak ada jalan balik lagi
musnah dihamburkan angin
hanya debu-debu
ia merintih pelan
takut membangunkan derita
menahan lelah yang sangat
sempoyongan, dan
terbatuk-batuk
ah, alangkah penat
(ternyata ia hanya harus berjalan
atas putusan sendiri
di pagi hari)
Puisi KOTA | Kuntowijoyo
KOTA
Kuntowijoyo
Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga
Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah pada kekosongan
Tuhan
nyalakanlah neon-neon itu.
sajak sajak 1974
ISYARAT
IN MEMORIAM: YANG TERBUNUH
IN MEMORIAM: YANG TERBUNUH
Kuntowijoyo
Sekali, hutan tidak menumbuhkan pohon
Burung melayap-layap, terbakar bulu-bulunya
Bumi mengaduh, menggapai bebannya
Pemburu tidak pulang sesudah petang tiba
Lampu malam dipetik dari gunung api.
Malaikat di angkasa menyilang tangan di dada
Menyesali dendam yang tumpah
Memalingkan muka tiap kali darah menetes di tanah.
"Mengapa kaubunuh saudara kandungmu?"
Puisi Tentang Suara | Kuntowijoyo
SUARA
Kuntowijoyo
Ada suara menderu dan warna ungu. Terserap
jasadku. Kukira akan padan juga. Tetapi tidak.
Adakah engkau juga menangkap makna itu? Di luar,
sebagai sediakala. Langit bersatu dengan birunya
menyelimuti bumi yang diam. Pelan udara merayap,
menggosok-gosok di pohonan. Engkau pasti tak
mendengar suara itu. Ada gemuruh di tubuhmu.
Barangkali ruhmu sedang mempersoalkan gelombang
yang tak mau berhenti itu. Gelombang-gelombang
suara. Gelombang-gelombang warna. Bercahaya-
cahaya! Membuatku lupa bahwa hari sudah malam,
sudah waktunya pergi tidur. Tidak, ia bergerak-
gerak. Menuntunku ke mimpi yang lena sebelum
bahkan mata berhasrat memejam. Hai! la mengucapkan
sesuatu yang sempurna. KATA. Aku tak paham
apa. Terasa bagai buaian. Mengayun-
ayun. Sebagai di benua asing aku keheranan.
Tenggelam di garis batas, yang sayup-sayup.
Jauh, jauh. Ada jalan dari berkas cahaya, sangat
licinnya. Bagai meniti benang sutra, aku berjalan
di atasnya. Berjalan, tidak ada ujungnya.
Kekosongan dari tepi ke tepi. Aku kehilangan
jejak sudah. Namun, aku berjalan juga. Alangkah
nikmat jadinya! Suara itu masih menderu. Warna
masih ungu. Tiba-tiba aku kenal benar.
Tiba-tiba saja aku tahu. Sudah lama aku merindukannya.
MUSIUM PERJUANGAN
MUSIUM PERJUANGAN
Kuntowijoyo
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.
Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.
Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.
Puisi Tema Waktu | Kuntowijoyo
WAKTU
Kuntowijoyo
Engkau dibunuh waktu
Sekali lupa mengucap selamat pagi
tiba-tiba engkau sudah bukan engkau lagi
Waktu membantai bajingan dan para nabi
kerajaan-kerajaan kitab suci
peradaban di buku sejarah
Semua harus menyerah.
Engkau sibuk memuji namanya
selagi ia berusaha menghinakanmu
memendammu di bawah batu-batu
(Engkau tak bisa berteriak
ia juga melahirkan koor yang berisik dan keras)
Seperti singa lapar
ia duduk di meja
sudah mencakarmu
selagi engkau bersantap
Ssst, pikirkanlah
bagaimana engkau bisa membunuhnya
sebelum sempat ia menerkammu.
SESUDAH PERJALANAN
SESUDAH PERJALANAN
Kuntowijoyo
Sesampai di ujung
engkau menengadah ke langit
kekosongan yang lembayung
Ayolah, Ruh
tiba saatnya
engkau menyerahkan diri
Sunyi mengantarmu ke kemah
di balik awang-uwung
di mana engkau istirahat
sesudah perjalanan yang jauh
KABUT | Puisi Tentang Kabut Kuntowijoyo
KABUT
Kuntowijoyo
Ada kabut di atas bukit
Pergi kesana
daerah samar tak bertepi
di lindung hutan kenangan
bayang-bayang purba
(Kaujamah puncaknya
tiba-tiba terlepas rindumu)
Bidadari kuning rupanya
menguntai permata
melempar mawar
membagi rahasia
Ada kabut di atas bukit
Bersumpahlah
Demi impian terpendam
mendaki punggungnya
berdiri di tengah-tengah
dan berseru:
Kutemukan daerah baru.
(Sebenarnya daerah yang dulu
tetapi engkau melupakannya
ingatanmu terkubur waktu)
Ada kabut di atas bukit
Remang-remang saja
selangkah maju
Surya menyala di ubunmu.
Kuntowijoyo sajak sajak 1974 ISYARAT
Puisi Tentang Sepi | Kuntowijoyo
SEPI
Kuntowijoyo
Jangan ditinggalkan sepi
karena ia adik kandungmu
ketika di rahim ibu
Jangan dibunuh sepi
karena ia kawan jalanmu
ketika di selubung mimpi
Di subuh pagi itu
ia menunggu
mengalungkan bunga ke lehermu
mengucap doa-doa
menyanyikan mantra.
Aduh
engkau sungguh berbahagia
karena hari ini
ia meluangkan waktu bersamamu
sendiri.
Puisi Tentang Batu Pualam | Kuntowijoyo
BATU PUALAM
Kuntowijoyo
Di batu pualam
jejak para nabi
aku berjalan berjingkatan
menyongsong nyanyian
Cahya redup bianglala
menghampiri pucuk menara
wahai
angin utara menghembus
burung ke angkasa
Pelan bagai belaian
malaikat
bersujud
pada Adam
Tuhan mengangkatmu
sedepa di atas ujung karang
guntur terdengar
bagai nyanyian
Di batu pualam
jejak para nabi
aku bangkit
menuju
pada
Mu.
BANGUN, BANGUN
BANGUN, BANGUN
Kuntowijoyo
Barangkali Engkau ingin berkata
kali ini pada gugus awan:
Bangun.
Hujan akan datang juga
hutan pina itu menggeliat
menengadah pada-Mu.
barangkali sudah selesai kitab-Mu dibacakan
pendengar berkemas pulang
gelap menyapu ujung padang
mereka kembali ke rumah
menutup pintu-pintu. Tiba-tiba
Engkau campakkan isyarat:
Bangun
Apakah maksud-Mu
(Pohon randu menggugurkan daun
berlayangan di udara
kudengar risiknya)
Apalagi.
Engkau masih memanggilku juga
serasa begitu. Serasa begitu
Engkau selalu menggodaku.
Aku cinta kepada-Mu.
Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo tidak hanya dikenal sebagai seorang sejarahwan, sastrawan, dan budayawan tapi juga seorang cendekiawan muslim yang banyak memberikan sumbangsih bagi dunia pemikiran Islam di Indonesia. Putra pasangan H. Abdul Wahid Sosroatmojo dan Hj. Warasti ini lahir di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta, pada 18 September 1943. Meski
lahir di Yogya, semasa hidupnya lebih banyak dilewati di Klaten dan Solo.. Ia mewarisi dua corak budaya yang berbeda, yakni Yogyakarta dan Surakarta. Kedua corak budaya inilah yang nantinya memberikan warna tersendiri dalam proses kreatif penulisan karya-karya Kuntowijoyo.1 Dari garis keturunan, ia termasuk golongan priyayi. Keluarga Kuntowijoyo juga terdiri dari orang-orang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Masa kecil Kuntowijoyo adalah masa pergolakan, yaitu agresi Belanda tahun 1947 dan 1948. Tahun 1956, ia menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Sejak kecil, ia aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, yaitu belajar agama ke surau yang dilakukan sehabis Dhuhur sepulang sekolah hingga selepas Ashar. Malamnya, sehabis Isya’, ia kembali ke surau untuk mengaji.
Saat menjalani kehidupan surau inilah, Kuntowijoyo mulai belajar menulis puisi, berdeklamasi dan mendongeng. Di surau ini pula secara kebetulan ia mengenal Muhammadiyah, kemudian memasuki kepanduan Hizbul Waton. Bakatnya dalam berdeklamasi, bermain drama, dan menulis puisi semakin berkembang ketika ia bergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia. Selain belajar mengaji dan deklamasi, Kuntowijoyo gemar menyimak siaran sastra di Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Pada siang hari, ia sering menyempatkan diri pergi ke kota kecamatan, memasuki gedung
perpustakaan dan melahap kisah-kisah Karl May. Ketertarikannya pada dunia bacaan bertambah ketika ia belajar di SMP. Karya-karya Nugroho Notosusanto, Sitor Situmorang dan karya-karya sastrawan lain ia lahap. Sejak SMP inilah dia mulai menulis cerita dan sinopsis dengan tulisan tangan. Tamat SMP (1959), ia pindah ke Solo dan sekolah SMA di sana. Saat SMA inilah ia mulai melahap karya-karya Charles Dickens dan Anton Chekov. Tamat SMA tahun 1962, ia masuk Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tamat S1 tahun 1969. Di masa mahasiswa, bakat tulis menulisnya semakin berkembang. Berbagai tulisannya, baik berupa puisi, cerpen, novel, essai, dan naskah drama, bertebaran di berbagai media massa, seperti majalah Sastra, Horison, Kompas, Republika, Bernas, dan lainnya.
Gelar MA ia peroleh tahun 1974 dari University of Connecticut, Amerika Serikat. Sedangkan Ph.D, diraih dari Columbia University tahun 1980 dengan disertasi berjudul Social Change In an Agrarian Society: Madura (1850-1940).
Karya-Karya Kuntowijoyo
1) Dinamika Sejarah Umat Islam (1985)
2) Budaya dan Masyarakat (1987)
3) Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)
4) Radikalisasi Petani (1994)
5) Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994)
6) Metodologi Sejarah (1994)
7) Pengantar Ilmu Sejarah (1997)
8) Identitas Politik Umat Islam (1997)
9) Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental (2001)
10) Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya
dan Politik (2002)
11) Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940
(2002)
12) Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915 (2004)
13) Islam sebagai Ilmu: Epistemolo gi, Metodologi, dan Etika (2004)
b. Karya-karya di bidang sastra
1) Naskah Drama
a) Rumput-rumput Danau Bento (1966)
b) Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas (1972)
c) Topeng Kayu (1973)
2) Puisi
a) Isyarat (1976)
b) Suluk Awang-Uwung (1976)
c) Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995)
3) Novel
a) Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966)
b) Pasar (1972)
c) Khotbah di Atas Bukit (1976)
d) Impian Amerika (1997)
e) Mantra Pejinak Ular (2000)
f) Wasripin dan Satinah (2003)
4) Cerpen
a) Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1993)
b) Pistol Perdamaian (1995)
c) Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1996)
d) Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997)
e) Mengusir Matahari: Fabel- fabel Politik (1999)
f) Hampir Sebuah Subversi (1995)
Penghargaan yang Diperoleh
lahir di Yogya, semasa hidupnya lebih banyak dilewati di Klaten dan Solo.. Ia mewarisi dua corak budaya yang berbeda, yakni Yogyakarta dan Surakarta. Kedua corak budaya inilah yang nantinya memberikan warna tersendiri dalam proses kreatif penulisan karya-karya Kuntowijoyo.1 Dari garis keturunan, ia termasuk golongan priyayi. Keluarga Kuntowijoyo juga terdiri dari orang-orang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Masa kecil Kuntowijoyo adalah masa pergolakan, yaitu agresi Belanda tahun 1947 dan 1948. Tahun 1956, ia menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Sejak kecil, ia aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, yaitu belajar agama ke surau yang dilakukan sehabis Dhuhur sepulang sekolah hingga selepas Ashar. Malamnya, sehabis Isya’, ia kembali ke surau untuk mengaji.
Saat menjalani kehidupan surau inilah, Kuntowijoyo mulai belajar menulis puisi, berdeklamasi dan mendongeng. Di surau ini pula secara kebetulan ia mengenal Muhammadiyah, kemudian memasuki kepanduan Hizbul Waton. Bakatnya dalam berdeklamasi, bermain drama, dan menulis puisi semakin berkembang ketika ia bergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia. Selain belajar mengaji dan deklamasi, Kuntowijoyo gemar menyimak siaran sastra di Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Pada siang hari, ia sering menyempatkan diri pergi ke kota kecamatan, memasuki gedung
perpustakaan dan melahap kisah-kisah Karl May. Ketertarikannya pada dunia bacaan bertambah ketika ia belajar di SMP. Karya-karya Nugroho Notosusanto, Sitor Situmorang dan karya-karya sastrawan lain ia lahap. Sejak SMP inilah dia mulai menulis cerita dan sinopsis dengan tulisan tangan. Tamat SMP (1959), ia pindah ke Solo dan sekolah SMA di sana. Saat SMA inilah ia mulai melahap karya-karya Charles Dickens dan Anton Chekov. Tamat SMA tahun 1962, ia masuk Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tamat S1 tahun 1969. Di masa mahasiswa, bakat tulis menulisnya semakin berkembang. Berbagai tulisannya, baik berupa puisi, cerpen, novel, essai, dan naskah drama, bertebaran di berbagai media massa, seperti majalah Sastra, Horison, Kompas, Republika, Bernas, dan lainnya.
Gelar MA ia peroleh tahun 1974 dari University of Connecticut, Amerika Serikat. Sedangkan Ph.D, diraih dari Columbia University tahun 1980 dengan disertasi berjudul Social Change In an Agrarian Society: Madura (1850-1940).
Karya-Karya Kuntowijoyo
Kuntowijoyo adalah sosok yang mumpuni. Sejumlah identitas dan julukan ia sandang. Antara lain sebagai emeritus (Guru Besar Ilmu Budaya) FIB UGM, sejarahwan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, khatib, dan sebagainya.17 Karyanya lebih dari 50-an buku, antara lain:
a. Karya-karya di bidang Sejarah, Agama, Politik, Sosial, dan Budaya 1) Dinamika Sejarah Umat Islam (1985)
2) Budaya dan Masyarakat (1987)
3) Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)
4) Radikalisasi Petani (1994)
5) Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994)
6) Metodologi Sejarah (1994)
7) Pengantar Ilmu Sejarah (1997)
8) Identitas Politik Umat Islam (1997)
9) Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental (2001)
10) Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya
dan Politik (2002)
11) Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940
(2002)
12) Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915 (2004)
13) Islam sebagai Ilmu: Epistemolo gi, Metodologi, dan Etika (2004)
b. Karya-karya di bidang sastra
1) Naskah Drama
a) Rumput-rumput Danau Bento (1966)
b) Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas (1972)
c) Topeng Kayu (1973)
2) Puisi
a) Isyarat (1976)
b) Suluk Awang-Uwung (1976)
c) Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995)
3) Novel
a) Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966)
b) Pasar (1972)
c) Khotbah di Atas Bukit (1976)
d) Impian Amerika (1997)
e) Mantra Pejinak Ular (2000)
f) Wasripin dan Satinah (2003)
4) Cerpen
a) Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1993)
b) Pistol Perdamaian (1995)
c) Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1996)
d) Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997)
e) Mengusir Matahari: Fabel- fabel Politik (1999)
f) Hampir Sebuah Subversi (1995)
Penghargaan yang Diperoleh
- Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1968) dan Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan Bahasa (1994) untuk cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga
- Hadiah Harapan dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) untuk naskah drama Rumput-rumput Danau Bento (1968)
- Hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah drama Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972), dan Topeng Kayu
- (1973)
- Hadiah dari Panitia Buku Internasional untuk novel Pasar (1972)
- Secara berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, cerpen-cerpennya, yaitu Pistol Perdamaian, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, meraih predikat sebagai cerpen terbaik Kompas
- Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemda DIY (1986)
- Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995)
- Asean Award on Culture (1997)
- Mizan Award (1998)
- Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menteri Riset dan
- Teknologi (1999)
- SEA Write dari Pemerintah Thailand (1999)
- Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1999)
RUANG SETELAH DUNIA
RUANG SETELAH DUNIA
Azizah Hefni
Manusia hanyalah
lembar-lembar daun ringan
Redam sekali pijak
Lepas sekali hempas
Seandainya ada nyawa
Menepuk dada dengan paket tawa
Acungkan cahaya-cahaya milik Tuhan
yang dititipkan pada satu putaran hidup
Memeluk dunia juga apapun yang ada
Apakah kosmos tak akan menunduk,
Terduduk
Dengan desah berat yang berpunuk-punuk?
Ini hanya perjalanan
tanpa keabadian
Gerak penempuhan
tanpa titik pangkap kepastian
jauh di atas bintang juga bulan
Ada ruang masa depan
Dan Tuhan mengatakan
Kesejatian itu ada setelah alam bertabrakan
Malang, 27 Oktober 2005
Puisi Tentang Kematian | Azizah Hefni
TENTANG KEMATIAN
Azizah Hefni
Tentang sebuah kematian
Tanpa tiang bendera
Atau tanda-tanda
Juga kabar-kabar
Hadir di celah pagi malam
Di sela tarik dan desah
Pada ujung-ujung waktu tanpa detak
Juga pangkal-pangkal sudut ruangan
Bahwa Tuhan memberi kertas
Dengan garis-garis tebal peringatan
Akan wicara kuasa yang takkan bisa tersentuh
Oleh sesuatu yang halus
atau sekecil apapun
Kemudian,
Untuk alam
Juga geliat-geliat nyawa yang dititipkan
Bersediakah bila
Tuhan memintamu untuk pulang?
Malang, 27 Oktober 2005
Antologi Puisi Untuk Munir
CAK MUNIR DI AWAN | Puisi Asep Sambodja
CAK MUNIR DI AWAN
Asep Sambodja
kubuat prasasti
dengan jari-jariku yang mengeras
menahan selangit suara yang membisu
karena cintamu kandas di awan-awan
kuukir namamu
di lubuk hatiku yang kian koyak-moyak
melihat senyummu memudar
di balik awan
kutahu rindumu
seperti pernah kueja ayat-ayat Tuhan
yang memancar di sisi-sisi awan
di balik mega
yang merasuk dalam hatiku
kubuat prasasti
dengan sisa koyak hatiku, seperti dulu
ketika ibu membasuh lukaku
tak sekedar mengingatmu
tapi menjelmakanmu
mengarahkan tatapan tajam matamu
ke rongga-rongga penguasa
yang lalim
yang zalim
dan durjana saja
Depok, 10 November 2005
KAPAL NUH ITU MASIH ADA
KAPAL NUH ITU MASIH ADA
Arafat Nur :
Kapal Nuh itu masih ada
Khidir menumpanginya
Singgah di setiap pelabuhan cinta
Pernah juga singgah di Malahayati
Subuh Minggu itu kapal lagi berlayar
Dari Laut Hindia ke Selat Malaka
Memang sudah terbaca segala pertanda
Dari getar matamu
Tapi kala banjir besar itu menjelma
Kapal itu lagi berlabuh di dadaku
Menurunkan sejumlah cinta
Lhokseumawe, 14 September 2005
PESAN BURUNG
PESAN BURUNG
Ayi Jufridar
Tak mampu kita membaca pesan telanjang
Saat burung-burung menari
Samudera luas di amuk marah
Burung-burung bertengger di awan berserak
Ingatan kita hanya sejengkap
Bila bumi berguncang
terbanglah bersama burung
Menggapai ketinggian awan
Seperti moyang kita berpesan
Tapi hati kita terdiam
Mata telah silau oleh kekayaan
gelombang terbang jauh
Sejauh Tuhan
Lhokseumawe, 27 Februari 2005
TUMBAL KENANGAN | Ayi Jufridar
TUMBAL KENANGAN
Ayi Jufridar
Samuderamu memerah demi anak panah
Menancap di bundaran keranda
Malam tak pernah mampu pejamkan mata
Karena angin selalu berteriak meminta
Anak dan Perahu
Merekapun harus pergi
Di tengah malam tanpa cahaya tanpa peta menuju samudera
Tak ada senandung di ujung sana
Selain sumpah serapah dan omong kosong.
Tentang Matahari
Yang tenggelam di ujung senja dan halimun memudar
Di sapu angin sepoi seharum cempaka
Anak-anak pun tak pernah kembali
Mereka mati muda!
Di lain waktu terdengar seruan mengajak
Berdansa di bawah hujan untuk rayakan panen darah di ladang gersang
Tak ada yang berani bilang tidak
Sebab tidak mengundang senjata menyalak
Demi sepotong kenangan Iskandar Muda *)
Lhokseumawe, Juli 2005
*) Sultan Aceh