Hutanku
Rini Intama
pongah menebang asa yang membelah senyap
gemerisik daun kering terinjak kaki perkasa
burung-burung terbang menghilang
cahaya langit pergi mengusap marah
yang mengintip direrimbun daun
dan kuncup kuncup bunga
tak pelak kayu diam tertebas ayunan sebilah kampak
dan gergaji yang sudah selesai diasah
garang menajam tak dengar keluh mengerang
dengarsuara bumi yang mengaduh hingga memekak
tangisan sang akar tertinggal terkelit sakit
habis darah mengalir dan kayu yang tercacah cacah
hutan tak ingin meranggas sedang angin membawa panas
memanggang kayu dan daun daun
ooh benih benih dari rahim pertiwi
menghitung puluhan tahun menunggu tunas tumbuh
sedang longsor memanggil tanah menimbun segala cinta
terhentilah nafas dan hutanku lampus
Juli 2010
sumber : green.kompasiana.com
Tag : Puisi Alam
Puisi Alam Hutan | Hutanku Rini Intana
Puisi Korupsi | Puisi Koruptor Nyzriel El Habibi
"Puisi" Maaf Sang KoruptorNyzriel El Habibi
Negara ini bebas bung.
Demokrasi katamu, itu hanya teori bung
Emang sih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
namun kami lah rakyat yang kau maksud
kami di pilih karena Bantuan dari kami untuk rakyat
maka ini lah saat nya rakyat membantu kami
Kami perjuangkan aspirasi rakyat, maka salah kah,
kami mengambil upah dari perjuangan itu ?
Duduk manis sambil merokok,
rapat, rapat dan rapat itu lah yang kami lakukan untuk rakyat
maka tiada salah nya kami berlibur sejenak ke luar negeri atau pulau bali
Anda bicara jujur, kami emang jujur
sampai saat ini kami belum terbukti
Walaupun anda tak suka
namun itulah keputusan kami bersama
mau di tolak gak enak rasa
karena sedekah dari yang sedang berkuasa
Korupsi Kolusi Nepotisme yang anda ributkan
ini hanya nama baru yang muncul di akhir zaman
jauh hari telah kami katakan, kami bekerja hanya satu tujuan
hidup mulia atau mati sebagai pemenang terbanyak meninggalkan warisan
warisan untuk keluarga kami, bukan kah mereka juga rakyat?
Trus, di mana salah kami
kenapa anda memandang kami sebelah mata
menjauhi dan mencaci maki
bukan kah itu hal yang tak terpuji
kami di pilih oleh anda
dan akan berkerja mengabdi kepada anda
dengar kan dan salurkan aspirasi anda
kadang hanya salah terima, tolong lah kami di maafkan
karena kami tak tahu apa isinya
hanya sebuah amplop kuning yang tebal kalau di raba
maafkan kami …….
maafkan kami…..
maaf kan kami…..
17 October 2010
*biar rakyat yang menjawab pak.
Ketika pagi menyapa kota H.10 cairo.
sumber : fiksi.kompasiana.com
Puisi Kaulah Terbaik Untukku ( Selamanya )
Kaulah Terbaik Untukku ( Selamanya )"setia waktuku"
Rentang sang waktu berjalan
Meniti sekelumit hari menari
Jejak-jejak sang petualang mimpi
Menurut sertakan lembayung berharap
Selembut hatimu sang awan berarak mega
Seindah tatapam matmu sang langit membuka cahaya
Sesyahdu belaimu senja beranjak dari petang
Setenang dekapanmu malam bertabur bintang perak
Sekian bait-bait waktu telah ku jejaki
Kutemuai penantian hati itu
Di hatimu....
Di singgahsana cintamu
Kasih....
Cinta ini telah terlambat
Dan aku sudah tak ingin sendiri lagi
Aku ingin menetap selamanya di hatimu
Tiada seindah raut pesona wajahmu
Tiada yang sanggup menyamai hebatnya kasih sayangmu
Tiada yang bisa menggantikan dirimu di hatiku
Dan tak ada satupun yang mampu menjadi sepertimu
19 Agustus 2008
sumber : www.erwindealova.blogspot.com
Siapa Yang Tidak Kenal Kahlil Gibran atau Khalil Gibran?
Siapa Yang Tidak Kenal Kahlil Gibran atau Khalil Gibran?
Kahlil Gibran adalah seorang tokoh sastra, filsuf, penyair, dan budayawan asal Libanon. Hasil karya Gibran telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa dunia. Selain memiliki popularitas dan pengaruh di masyarakat Arab, Kahlil Gibran memiliki posisi istimewa di masyarakat Libanon, karena menjadi inspirasi bagi terbentuknya persatuan dan kesatuan Libanon sebagai sebuah bangsa. Kalau belum ada yang tahu tentang kahlil gibran, bisa dilihat Biografi Kahlil Gibran.
Karya Kahlil Gibran pertama diperkenalkan di Indonesia pada zaman Belanda, tahun 1920-an, dan mulai diterjemahkan ke Bahasa Indonesia pada tahun 1949. “Saat ini, 24 buku karya Kahlil Gibran telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Beberapa karya kahlil gibran al. : Sayap-Sayap Patah, Lagu Gelombang, Potret Diri, Taman Sang Nabi, Suara Sang Guru, Surat-surat Cinta Kepada May Ziadah dll.
Karya-karyanya banyak menginspirasi dalam semua aspek kehidupan dan dituangkan dalam bentuk prosa, puisi, ataupun mutiara-mutiara kata yang dikutip dari berbagai sumber buku dan dibukukan menjadi kumpulan mutiara kata.
Berikut sebagian karya Kahlil Gibran yang ada di blog ini al.: Naungan Kasih Sayang, Anugerah Cinta, Mutiara Kata Tentang Cinta, Surat Kahlil Gibran Kepada Ayahnya, Prosa Perkawinan, Makna Ciuman Pertama, Arti Pandangan Pertama, Prosa Tentang Cinta dan Remaja, dan juga Prosa tentang Kehidupan.
Semoga karya- karya Kahlil Gibran tersebut bisa meng-inspirasi kita semua dalam segala aspek kehidupan. Salam
Puisi Cinta Segi Tiga | Winarni Dwi Lestari
CINTA SEGI TIGAWinarni Dwi Lestari
Dia : sebelah jeruk nipis
Sedang duduk tersedu di bawah pohon berbunga
Sebentuk bintang putih terjatuh menghiasi rambutnya
Mungkinkah memikirkanmu? Mungkin aku
Kau : sebilah pisau
Coba belai tandan rambutnnya dengan tajam jemarimu
Kau tawarkan kilat pesona,dingin bahu dan anyir cintamu
Mungkin dukanya karena cintamu, mungkin cintaku
Aku : segores luka
Yang kau torehkan padanya, jangan selalu goda aku!
Lalu jatuh titik air matanya, kuseka
Dan aku terluka karenanya, mungkinkah kau?
Bogor, 4 Februari 2012
Puisi Tukang Sate | Winarni Dwi Lestari
TUKANG SATE
Winarni Dwi Lestari
Suara yang lewat, tinggi melengking
Melenting ke udara, lalu terpelanting
Ke pintu, jendela dan kaca
Akhir-akhir ini sering tersiram gerimis
Di dalam, hati-hati merasa miris
Malam terlalu beku
Sekedar memenuhi hasrat perut dan nafsu
Harum bara tak cukup mencairkan keinginan
Suara yang nyaring menggema dinding waktu
Tersangkut di tingkap lampu yang berkedip ragu
Tak ada yang merasa perlu memanggil suara itu
Tak ada yang merasa perlu keluar pintu
Di dalam, suasana hangat buat para penghuni tercekat
Hanya suara penjaga yang setia menyapa
Berhenti, ia kipasi kembali bara yang mulai padam
Ia tusuk, lalu bakar sisa malam
Yang berjalan pelan dalam tangis ritmis
Suara yang suatu malam nanti
Pasti melintas kembali
Mengetuk pintu, jendela dan kaca
Namun saat kau buka, tak ada
Bogor, 5 Februari
Puisi Banjir | Lautan Jakarta
Lautan JakartaAlex R.Nainggolan
jakarta jadi laut
memungut air hujan
ngalir menggapai tubuh
rumah dan kesedihan
orang-orang bertahan dalam getir
apakah takdir atau mimpi buruk?
lautan jakarta
mimpi-mimpi mengapung
coklat air yang ngalir
tak surut-surut
memasuki lorong-lorong derita
kini semuanya memanggul larat
merapal doa
semoga tak menjadi kaum nuh
yang durhaka
kapan lagi hujan turun?
langit mendung
puluhan ribu tatapan murung
di sisi jakarta
luka kembali pecah
semuanya tenggelam!
Jakarta, 3 Februari 2007
Puisi Kisah Sedih | Alex R Nainggolan
Kisah SedihAlex R.Nainggolan
barangkali ini sebuah kisah sedih
sebab sekian waktu aku abai pada suara tangis
membiarkan kau besar sendirian
menempuh kalut dalam laut hidup
yang acap dipenuhi dengan kecemasan
dan tahun kembali berganti
merobek segala pesakitan
sementara aku cuma berlalu
sudah jenuh untuk menunggu
maka bersama ransel yang lembap
aku lanjutkan perjalanan
semuanya cuma kisah sedih
yang kelak datang lagi
Jakarta, 26 Januari 2007
Puisi Bencana Alam Banjir | Terjebak Air Banjir
Terjebak Air Banjir
- Hammad Ramadhan
Alex R.Nainggolan
engkau terjebak air banjir
berdiri menunggu dua malam
di ketinggian
tapi langit tak lagi biru
cuma mendung yang menggantung
aroma dingin menebar
matahari mati suri
berapa lama lagi air akan surut?
sebelum segalanya menyisa
bersama tumpukan lelah dan lumpur
engkau terjebak air banjir
ditikam kesunyian
tanpa komunikasi
listrik yang mati
telepon genggam yang mati
hujan mengguyur lagi
entah apa yang sedang kauperbuat sekarang?
sementara nyeri dingin air melulu tumbuh
berenang ke tepian hatimu
menyumbat ingatanku yang panjang padamu
ah, mengapa belum juga ada kabar darimu?
Jakarta, 3 Februari 2007
Biografi Alex R. Nainggolan
Biografi Alex R. Nainggolan
Alex R. Nainggolan dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah terakhir di Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005).
Alamat: Komplek DKI Jalan Bina Serasih I Blok A No. 7 Rt. 005/05 Cengkareng Barat Cengkareng Jakarta Barat 11730.
Puisi Dialah Sejatinya Pahlawan | Ajinatha
Dialah Sejatinya Pahlawan
Ajinatha
Dialah Pahlawan yang membagikan separuh hatinya untuk pengabdian
bagi bangsa dan negaranya,
dan separuhnya dia sisakan pada rentang waktu menyusuri alam keabadian.
Tidaklah satu manusia pun yang mengabdikan sepenuh hatinya
pada yang namanya keikhlasan,
ikhlas hanyalah sebatas jiwa dan raga,
itulah sejatinya pengabdian.
keikhlasan dalam pengabdian hanya layak dilakukan kepada yang maha kuasa.
….
Dialah Pahlawan yang mendahulukan
kepentingan untuk kemaslahatan diatas kepentingan pribadinya,
yang menginspirasi banyak orang untuk berbuat sesuatu demi kepentingan bersama,
yang setiap aliran darahnya mengalir butir-butir keringat dan semangat berjuang,
tidak mengenal rasa takut selama dalam garis kebenaran,
dan berjuang demi kemenangan kebenaran.
……
Dialah Pahlawan yang tidak pernah merasa berjasa atas apa pun
yang mengikhlaskan keringan dan darahnya tumpah
tanpa pernah mengharap belas dan balasan upah
semata karena pengabdian juga ketulusan
atas nama perjuangan dan kebersamaan
…….
dan itu siapa pun dia bisa..
tidaklah diukur dari derajat dan pangkat
dan tidak juga apakah dia orang terhormat
yang diukur hanya ketulusan dan niat..
Jakarta, 7 Nopember 2011
sumber : fiksi.kompasiana.com
Puisi Bunga | Mawar Putih Di Pojok Taman Itu
Mawar Putih Di Pojok Taman Itu
Bagus Yuli Hidayat
Angin bawalah serbuk sariku padanya
Bunga mawar putih dipojok taman itu
Wanginya membuatku terpesona
Sungguh hanya dia yang kupuja
Angin sampaikanlah padanya
Semua yang telah aku amanahkan
Ingat! Dengan desiran yang lembut
Kencangnya anginmu akan membuat dia jatuh
Angin telah kau sampaikankah serbuk sariku?
Kepada bunga mawar putih dipojok taman itu
Kau tak lupa menyampaikannya kan?
Angin bantulah aku
Dia sangat jauh untuk langsung ku raih
Sampaikanlah serbuk sari
Pada bunga mawar putih dipojok taman itu
sumber : bagusinpuisi.blogspot.com
Puisi Mengubur Cinta Di Pantai Ancol | Ratna Ayu Budhiarti
Mengubur Cinta
(di Pantai Ancol)
Ratna Ayu Budhiarti
1
rindu itu akhirnya sampai juga padaku
lewat angin yang mengelus pipi perlahan
di pantai Ancol
namun semua takkan pernah sama lagi
ombak yang menegur karang berkali-kali,
perahu yang laju entah kemana,
nyiur yang menatap matahari
dan kepingan hati galau menatap esok
2
Tuhan,
telah berkali kulukis wajah lelaki itu
di buih ombak
semakin dalam kenangan menancap perih
menghunjam jantung
dan percintaan yang dahsyat menggelora
bak gelombang, kini jadi ratapan sia-sia,
tak mampu lagi merekatkan hatinya padaku
3
lengan-lengan ombak yang menyapu
pantai, tak putus-putus
menarikan harapan untuk esok
dan jika di ujung cakrawala sanaaku kelak bisa menepi,
biar kuharap bertemu bahagia saja,
bukan dia!
sebab telah sampai ucapan selamat tinggal itu
dibisikkan angin, diderukan gelombang
keputusasaan
biar kutaburkan seluruh kisah di laut ini
agar samudera menyimpannya dalam keabadian
biar seluruh rasa ini lepas dan
tak mengganggu lagi
biar! izinkan aku, Tuhan!
Kamis, 12 Agustus 2004
Puisi Bunga Anggrek | Setangkai Bunga Anggrek
Setangkai Bunga Anggrek
Edy Nawir
Setangkai anggrek jingga
Mekar dalam senja
Siapa menyapa?
Setangkai anggrek biru
Mekar dalam taman
Siapa meminang?
Setangkai anggrek ungu
Layu dihatiku
Tak kusiram….
sumber : fiksi.kompasiana
Puisi Bunga Sakura di Atas Kemarau
Bunga Sakura Di Atas Kemarau
BY : Zack
Kemarau …
Kau telah buat semuanya kering tak berbentuk
Membunuh hati yang tenang…
Kemarau..
Kini bunga jadi kering karena kau..
Membuat luka yang tak pernah hilang
Tapi di balik bukit keputusasaan
Sakura mekar dengan indah,membawa cahaya hati
Dan menjadi semangat jiwa yang gersang
Sakura..
Siapakah kau..yang mampu tegar di tengah kemarau?
Yang sudah menumbuhkan mawar hati yang putus asa.
Sakura…
Siapapun kau adanya..dimanapun kau berada
Akan ku jaga kau dengan hati yang sederhana
Karena kau adalah anugerah terindah ku.
Mojokerto,12 okt 2011
sumber : fiksi.kompasiana
Puisi Bunga Melati | Andin Adyaksantoro
Bunga Melati
Andin Adyaksantoro
Bunga ini kupersembahkan buat mu...
yang tak kan layu dalam genggaman mu...
karena kan kau sirami dengan air mata kebahagiaanmu...
dan senyum indah mu yang membara...
Janganlah kau simpan rasa laramu...
karena luka tertusuk durinya...
cabut dan buanglah durinya...
kalau itu membuatmu bahagia...
Hidup adalah kenyataan...
tak perlu dikhayalkan...
bila dan seandainya...
tak perlu ada lagi dalam kalbumu...
Kini aku berdiri di hatimu...
menyongsongmu dan mengajakmu terbang bersama ku...
melanglang buana.....menjelajah isi kalbuku...
berkeliling pesona ....melihat keindahan hatiku...
yang lama tersapu oleh hujan air mata....
betapa indahnya hati mu...
yang mau berdampingan dengan ku...
yang pernah basah oleh hujan air mata...
yang kan kering tersapu oleh sinar kebahagian ku karena mu...
yang peduli pada indahnya Pelangi ku...
Kemarilah...
rengkuh dan peluklah diriku erat-erat...
kan kau temukan hati yang suci dan putih...
seindah bunga melati kesukaan mu...
raih dan ambillah bunga melati yang nyaris layu ini...
tanamlah dalam hati mu dengan tanah ketulusanmu...
pupuklah dengan jiwa kejujuran mu...
rawat dan pedulikan lah melatimu yang indah nan semerbak mewangi ini...
dalam kharisma dan keanggunan mu yang mempesona...
Nopember 2009
sumber : pelangipelangiku.blogspot.com
Puisi Bunga Mawar | Puisi Tentang Bunga Mawar Merah
Bunga Mawar
bambang parmadi
Mawar Merah.......
Warnamu Yang Indah
Baumu Yang Semerbak
Rupamu Yang Elok
Buat Orang Terlena
Buat Orang Terpana
Dalam Buaian Keindahanmu
Mawar Merah..
Makhotamu Yang Merah
Lambang Keberanian..!
Daunmu Yang Hijau
Lambang Kehidupan
Mawar Merah...
Engakau Sebagai lambang Cinta
Sebagai Ungkapan isi Hati
Dan Sebagai Ungkapan Rasa Cinta
Pada orang Yang Ada Di Hati
Agustus, 2008
sumber : parmadi.wordpress.com
Puisi Bunga Matahari | Sampaikan Salamku untuk Bunga Matahari
Sampaikan Salamku untuk Bunga Matahari
Mosmarth
Sampaikan Salamku untuk Bunga Matahari
Sebelum ia dibangunkan oleh Sang Mentari
Sebelum satu demi satu kelopaknyamekar ceria mengikuti sinar
Sebelum terang membelai helai-helai daunnya
Sebelum hangat menyentuh kuning emasnya…
Sampaikan salamku untuk bunga matahari
Setelah ia tegak menjulang di hijaunya padang rumput
Setelah ia kuat berdiri di tengah tiupan angin
Setelah ia mampu memberi kehidupan pada lebah-lebah kecil
Sampaikan salamku untuk bunga matahari
Setelah ia bertemu sepasang kekasih
Setelah ia mengurai senyum di wajah cantik sang perempuan
Setelah ia dipetik oleh tangan-tangan bahagia untuk menyebarkan cinta
Sampaikan salamku untuk bunga matahari
Sebelum mentari terbit menggantikan diriku
Sebelum tidak ada lagi dinginnya malam
Sebelum gelap ini habis…
Katakan padanya…Ada terang saat ia terlelap..
PS: Puisi ini adalah prolog dari Novel Grafis
berjudul Sampaikan Salamku Untuk Bunga Matahari
sumber : fiksi.kompasiana.com
Puisi Anak Tentang Alam | Gunung, Danau, Pantai
Puisi Anak Tentang Alam
Eka Nusa Putra
Gunung tinggi diatas tanah
Berkabut putih dan cerah
Udara sejuk di pagi hari
Sawah hijau nan luas
Air di danau sangat sejuk
Embun pagi jatuh di daun
Air terjun sangat dingin
Dan embun sore yang sejuk
Air biru mewarnai pantai
Udara pagi di pantai sangat sejuk
Di pantai ada tempat pelelangan penyu
Dan laut yang sangat luas
Matahari yang hangat
Menyinari lingkungan alam
Sinar matahari sangat baik bagi tubuh
Membuat hari tampak cerah
Sajak Selamat Tinggal | Kujelang Episode Baru
Kujelang Episode Baru
(Sajak Selamat Tinggal)
Ratna Ayu Budhiarti
bulan separuh
dan malam ini hanya satu bintang
di langitku
tak tahu lagi aku bagaimana
harus merindumu
bahkan melayari laut yang dulu itupun
aku lupa jalan pulang menujumu
bukan! tak salah laut itu
berombak demikian besarjuga biduk
yang membawaku
ke samudera lepas menggapai cahaya
tak! tak ada sepotong kenanganpun
hendak disalahkan kini
ini lentera kecil yang kupunya
menuntunku pada cahaya di suatu tempat
nun tak berbatas
tiada! luka itu tiada tertulis
di dada ini lagi, Tuhan telah sembuhkan aku
dari ngilu yang menikam ulu
jangan sesali warna yang tercecer
di kanvas, baik benahi saja
jadi lukisan pelangi
aku bersama lentera kecil ini
melayari laut lepas ke cakrawala
konon kabarnya di sana
mimpi terasa lebih nyata
dan aku benar-benar tak ingat lagi
bagaimana merasai sentuhanmu.
Kamis, 19 Juni 2003
Puisi Termenunglah | Chairul Abshar
Termenunglah
Chairul Abshar
maka termenunglah aku
ketika malam-malam ku kecup
sebuah sepi
yang menggigil
dan lidah yang kelu
seharusnya aku berontak
tapi darahku tak bergolak
maka termenunglah aku
ketika butir butir sepi
menyapa tanpa sadar
dan mengharap
mimpi cepat hilang
Juanda, 10102010
Puisi Gumam Bocah | Chairul Abshar
Gumam Bocah
Chairul Abshar
kepak sayap burung dara
adalah langkahku
dibawah langit
kebiruan cakrawala
arus darah
burung dara
adalah lintasan
kembara menujuMu
tatap mata
burung dara
adalah senyum
yang dalam
saat memandangMu
burung dara adalah rindu
ku menikmati langkahMu
yang langka
Nganjuk, 23102010
Puisi Saat Mandi | Chairul Abshar
Saat Mandi
Chairul Abshar
Saat aku mandi
Seekor cecak memandangku
dengan sorotan mata tajam
kuambil segayung air
kusiram cecak itu
cecak pun lari
Aku tak tahu
mengapa cecak kusiram
mungkin aku malu
karena aku telanjang
Sby, 25122010
Cirebon | Puisi Hery Firyansyah
Cirebon
Hery Firyansyah
anak anak penjual krupuk
mengapa engkau belum tidur?
malam begini larut
besok...
apakah engkau bersekolah?
apakah kau pandai?
sudahlah kau tahu
tentang hukum Pascal?
Boyle?
atau garis garis lurus
pada matematika
ah, tahukah kau betapa
hatiku remuk?
dimanakah orang tuamu?
sedang tidurkah mereka?
gembirakah, engkau
bisa mencari uang?
keretaku maju perlahan
banyakkah yang terjual
krupukmu kali ini?
dan aku memandangmu
bagai mata kanak-kanak dunia
aku pangling
Cirebon, 15122011
Puisi Hati Nelayan | Hery Firyansyah
Hati Nelayan
Hery Firyansyah
Ah, angin tak mau
menegurku lagi
kurindu himbaunya dulu
kucba raih, tapi menghindar
angin,
aku berteriak
dari tengah samudera
berlarikususuri panjang gelombang
ditertawai bulan tergantung
disumbat napas di tenggorokan
angin,
kau kuikuti
dari teluk teluk gelap
kukejar merambati sisi malam
dimana wangimu
dalam puing bahteraku
aku menggeluti nasibku
jari jariku
juga ulet di hatiku
berdarah
angin,
akankah kau sebar
wangimu
bila mentari mengecup
pasir laut
aku dengan keluh dalam hatiku
bukalah jalan dan rejekiku
Pelabuhan Ratu, 11122011
Puisi Dari Tepi Laut | Hery Firyansyah
Dari Tepi Laut
Hery Firyansyah
Laut biasanya dilalui kapal
tapi kali ini tidak
juga tak ada gitar dipetik
di bawah rindang nyiur
pasir jadi bara
di telapak kaki
dan mentari membakar apa saja
yang menentangnya
lambaian nyiur menggapai lunglai
melenggok hampa
kadang kadang segunduk ombak kecil
datang mengantar riak
kadang kadang pula sepi
yang datang mencekik
dari tengah laut
aku telah pulang
dan kembali lagi kemari
telah pula datang
mengurai mimpi mimpi
sebuah teluk tenang teduh
sebatang nyiur lapuk
setia menunggu
pasir berbercak bercak
putih memanjang menyilaukan
siang malam
riak air asin berlarian
O laut
bila kau ramah
kau buat aku terlena
tapi bila kau gila
O laut
aku tak mau
bertanya tentang kau lagi
Pelabuhan Ratu, 10122011
Puisi Perjalanan | Dwi Rejeki
Perjalanan
Puisi Dwi Rejeki
tak pernah ada lilin lilin
yang menyala sebagai tanda
hitungan umurku
tak pernah ada lilin-lilin
yang menyala
sebagai penerang
jalan hidupku
tak pernah ada lilin-lilin
yang menyala
sebagai pembakar semangatku
dan, aku pun tak pernah
mengharapkan lilin-lilin
yang menyala
jika cuma
membuat luka
Jakarta, Mei 2011
Puisi Tentang Burung Kecil | Dwi Rejeki
Burung Kecil
Dwi Rejeki
seekor burung kecil
hinggap di pohon tua
yaang dahannnya
mulai kering
dan rantingnya
hampir mati
suaranya tak terdengar
tapi hanya sayapnya
yang dikibas-kibaskan
ketika debu
mengotori tubuhnya
dan dia pun
terbang kembali
terbang melayang
ke langit lepas
dengan pergi
membawa duka
diapun tak lagi
singgah di sini
Bekasi, Mei 2011
Puisi Untukmu | Evi Melyati
Untukmu
Evi Melyati
Dari tanah dan memang sampai dalam
lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam ini tak pernah siap kau tinggalkan
tetapi kini di persimpangan itu
kau benar sampai
dan aku tetap terpaksa di ujungnya
aku tetap berharap akan ada cahaya melingkupi lingkungan
keabadianmu dan hanya doa
untuk segala perjuanganmu
Tangerang, 10122010
Puisi Untukmu Guruku | Evi Melyati
Untukmu Guruku
Evi Melyati
Guratan luka adalah kepedihan
ketika rindu memanggil
memasung segala benci
dan dendam kala itu, kami adalah
deretan kertas putih
tanpa makna
selama itu kita berpagut
dalam harapan
masa depan yang terbentang
begitu jauh begitu samar
kini kurangkai kata
untuk segala kebersamaan
yang pernah ada
tanah ini telah menjadi saksi
tentang ulah
prestasi dan kenakalanku
aku rindu pada segala yang kulewati
gemuruh angin dan tanah berdebu
sungguh deras suaramu memanggil
membawaku keluar dari kegelapan
dari kebodohan
seperti tak ada
untuk terima kasihku
kepada bapak guru
kepada ibu guru
pembawa cahaya penerang gelapku
esok masih sangat panjang
jalan masih begitu jauh
cita-cita harus ditegakkan
temaram di kaki langit
mengiringi langkah
tiada berujung
Tangerang, 07032011
Puisi Tentang Kemiskinan | Evi Melyati
Kemiskinan
Evi Melyati
Jika cawan telah kering
seperti jiwamu
jangan lagi berlari
kemiskinan yang mengekang
membuatmu lebih suka
menarik kutang, membuka paha
kutahu itu bukan dirimu
mengadulah pada langit
pesantren tempatmu dibesarkan
kibarkan bendera setengah tiang
kembalilah sahabatku
sebelum sesal datang membayang
berhentilah seperti kapal
merindukan dermaga
Tangerang, 02022011
Puisi Langit Semakin Tua | Evi Melyati
Langit Semakin Tua
Evi Melyati
Langit ada dimana mana
melingkupi segala tak peduli rupa
bumi terbentang rasa
kita hanya bebas menapak
tanpa bisa memiliki
ketika langit semakin tua
bumi semakin sesak
rumput semakin tinggi
semakin menusuk
bencana tak jera mendera
rindu bara kepada Tuhan
kemana perginya
Tangerang, 05012011
Puisi Bolos | Agus Sunarto
Bolos
Agus Sunarto
buku buku tebal ini
hampir menjenuhkan
bergelayut di punggung
ah…
sebaiknya tak kubawa
kusimpan dalam lemari saja
dan aku mau bersantai
udara cukup panas
biarkan aku berlari seaat tanpamu
aku rindu ibu
aku ingin lari ke pelukannya
dan kubilang:
“Ibu aku rindu
teh manismu”
kini ribuan mil jarak kita
aku cuma punya pohon ini
yang selalu kududuki dahannya
pejamkan mata dan ayunkan kaki
seakan berada dalam pelukan ibu
ibu,maaf aku selalu bolos
selalu mau bolos
kalau ingat berayun
dalam pelukanmu.
Bandung, April 2010
Puisi Jakarta | Puisi Tentang Kehidupan
Jakarta
Agus Sunarto
lihatlah suasana baru
gedung gedung baru
hotel hotel baru
berdiri saling bersaing
tapi kemiskinan barupun
semakin nyata
tapi semua datar datar saja
pergerakan kecil maupun besar
tak terlihat sama sekali
syukurlah bila sudah
menikmati keadaan ini
akupun ingin diam saja
kerja tidur
makan tidur
kerja makan
tidur lagi
Bandung, Juni 2010
Puisi Tentang Koin | Agus Sunarto
Koin
Agus Sunarto
dulu sering kusisipkan satu koin
bukan untuk telpon rumahmu
tapi untuk lempar
kaca jendela kamarmu
pemberi tanda aku datang
lalu kita duduk bersama
di depan beranda
banyak cerita
banyak tawa
banyak mimpi
berakhir begitu saja
kau memilih pulang lebih dulu
dan aku masih ingin disini
bukan salahku
bila kita tak sejalan
benda terkutuk itu telah
membawamu pulang
sebelum kau selesaikan
etape pertamamu
sebelum kau coba
Laptop terbarumu yang kita
beli berdua
kepana tak pernah cerita padaku
atau kau masih ragukan aku?
Bandung, Mei 2010
Puisi Bertema Miskin | Agus Sunarto
Miskin
Agus Sunarto
Pagi buta segala hantu pun
belum terjaga
berlari mengejar bis
jam kerja
antrian panjang di pintu gerbang
memoles wajah
menyemprotkan wewangian
buruh hotel menjual jasa
harus wangi, bersih, segar
dan pintar
tersenyum ramah
persetan dengan masalah rumah
yang menumpuk
tetap harus senyum
berada di dalam bangunan
megah hotel berbintang
akhir bulan upah hanya 2 jam
mampir di tangan
semua budgeting harus diisi
negosiasi upah
selalu ditolak pengusaha
alasan pengusaha, hotel rugi
pendapatan anjlok
tetapi ini harga diri
kami harus terus berjuang keras
bertanya kapan penyesuaian gaji
Bandung, Maret 2010
Puisi Jogja Adem Panas | Nurul Hadi Koclok
JOGJA ADEM PANAS
Nurul Hadi Koclok
Musim hujan, jogja menyala
Terangi desa-desa mengepung Batavia
Burung-burung pemakan bangkai mencakar wajah penjajah
Berpesta bangkai mayat-mayat hidup yang berlagak penguasa
Para badut politik gemetar perutnya
Para begundal bersilat lidah
Hendak membinbing burung-burung terbang
Hendak mengajari ikan-ikan berenang
Tapi para burung dan ikan itu bersikap santun
Jika nampak lebih pintar daripada yang mengajari
Mereka akan distempel pipinya
Dengan cap; anti demokrasi dan teroris
Ya,itulah merk dagang import
Yang didiktekan bangsa asing
Kepada para agen pasar bebas;
Yang rela siap berkorban jilati pantat penjarah baru,
Demi pelipur lara sakit jiwa
Cacing-cacing di Jogja menggeliat
Terangsang menu busuk;
Napas mati rasa para penjarah nusantara
Tahun demi tahun berganti
Muslihat para kakek batavia semakin gila di Jogja
Hingga bayi-bayi begitu lahir pun tidak menangis
Tetapi justru tertawa pintar;
“oh,kakeku yang lucu-lucu…
Nih,cucumu terpaksa cepat lahir dari liang senggama…
Maka kakek harus cepat masuk liang lahat…”
Jogja, Januari 2011
Puisi Gelegar di Balik Halilintar | Nurul Hadi Koclok
GELEGAR DI BALIK HALILINTAR
Nurul Hadi Koclok
Bermandi hujan bersabun angin;
Terbelalak jiwaku digertak halilintar
Sampai terjaga oleh tanya gemetar…
Hai, hujan…
Hangat dan payau airmu segarkan aku,
Kenapa kau semprotkan kilat?
Dan kau, angin…
Hembusanmu gigilkan tulang kulitku
Lalu kenapa kau kirim halilintar,
Hingga parau gendang telingaku?
Begitu juga kau; kilat dan halilintar…
Di balik hujan dan angin,
Kalian sembunyi lalu loncat berakrobat;
Nyala kilatmu nuding hinaku
Gemuruh suaramu lumat manjaku
Apakah kalian cuma sekedar gejala alam?
Ataukah Tuhanmu perintahkan kalian?
Ada rahasia apa, gerangan?
Tanyaku tersapu deru di dada…
Jika tanyamu berdasar bening jiwa
Dan berakan niat menuju maksudKu…
Maka jawabku berporos cahaya kehendakKu;
Kutunjuk jiwamu tangkap pesanKu
Dan mampu bermain tanda tanda tersiratKu
Tapi jika tanyamu berakar sebaliknya,
Maka jawabku kau cerna dengan nalar buram
Dan jiwamu menyala dalam terangnya kegelapan
Hai… Tuhan!!
Andai rahasia ini bisa kucerna dengan akal biasa…
jogja, maret 2010
Puisi Selokan Mataram, Suatu Pagi | Mutia Sukma
Selokan Mataram, Suatu Pagi
Mutia Sukma
terpejam aku di tepi-tepi mimpimu
yang dingin
air yang hitam, penggilingan padi,
lapak-lapak kecil dan rumah-rumah
orang kaya
barang kali,
ketika tak sepagi ini
tak seperti ini rasanya,
meski kota
desa juga suasana yang kurasa
aku dan kamu
menjadi sepasang pecinta yang
mudah kagum
pada matahari yang terpantul di air
jembatan kayu tua yang lapuk
juga tangga yang menurun ke sungai,
atau menurun ke hatimu?
barangkali,
belum lengkap kita menikmati suasana
sebab pagi begitu cepat
sebab dirimu tampak begitu singkat.
Perubahan
segalanya yang terlihat indah
akan berubah di dunia ini
seperti bunga-bunga palsu itu
yang memutih dan lilinnya
mengelupas
di jalan raya
orang pemegang surat kemudi
mematuhi aturan lalu lintas
berhenti pada tempatnya
dan parkir di arena yang disediakan
tapi kota hanya boleh ditinggali orang
yang mau tak peduli dengan apa pun
marka jalan dibangun untuk dibiarkan
mengelupas lalu berkarat
segala yang terlihat indah
akan berubah di dunia ini
seperti cinta yang mulamula makin tak ada
museum-museum didirikan untuk
dipuja saat tua
tapi puisi kenangan dicipta
menjelma sayap burung
yang terbang dan entah bersarang di mana
Juli 2010
Puisi Perjanjian | Mutia Sukma
Perjanjian
Mutia Sukma
1.
bila nanti benar-benar aku
tumbuh jadi dewasa
dan mengerti arti mencintaimu
aku ingin kita menikah dengan
sederhana saja
cukup mama-papaku, ayah-ibumu
kamu melingkar cincin pada
jari tanganku
sebentuk pengikatkah?
2.
bila benar kamu jadi papa
anakku
ajarkan dia salat dan membaca buku
sewajarnya, sewajarnya saja
sebab waktu masih panjang
dan biarkan dia jadi buah matang pohon bukan karbitan
3.
bila benar kamu jadi tua
bersamaku
pastikan, kamu benar-benar tua karena usia
Juli 2010
Puisi Pasar Malam | Umar Fauzi Ballah
Pasar Malam
Umar Fauzi Ballah
kalau bukan nenek renta
memanggul kacang basah
anak-anak belia menjinjing kacang kering
malam tambah dingin yang terkelupas
terkulai gemigil
tak hendak melepas kancing
dan jejak mereka gemerincing
di podium mimpi-mimpi kian berhembus makin sesak karena
belum ada yang beranjak
sementara si belia dan si renta
tak menghiraukannya terdesak pada laba yang kian melonjak
seseorang kemudian membacakan puisi
seperti membaca talkin dengan pasang indera bertanya-tanya
"antara pencari nafkah dan tukang khotbah
apakah seperti lentera dengan cahaya
atau lentera dengan jelaga?"
nasib telah mempertemukan mereka embun menjadi saksi
dan menertawakannya sementara bintang membasahi
mimpi-mimpi memungkasi jalan-jalan terlelap di ujung mata
Surabaya, 2008
Puisi Tanah Kelahiran II | Umar Fauzi Ballah
Tanah Kelahiran II
Umar Fauzi Ballah
Dalam hutan gelap dan tanah terlelap
jejak kita tak lagi bisa terbaca
milik siapa (keberuntungan) hari ini.
Sesekali hanya embun sisa daun, memantul
gema kenangan kemarin.
Hari tersisa ini
seolah penghabisan saja menghantui.
Dan wajah-wajah silih berganti menghadap.
Kiranya dapat kulihat sekali saja
yang pernah manis di ingatan
yang tertimbun tangis di pikiran
dalam hutan gelap dan tanah terlelap
Sampang, 1429 H
Puisi Tanah Kelahiran I | Umar Fauzi Ballah
Tanah Kelahiran I
Umar Fauzi Ballah
Ketetapan ini telah kubuat
telah kurencanakan
seiring denyar angin
dan renyah daun kering,
pabila lesung tanah
begitu dahaga memelukku tiba.
Cricit suara kanak-kanak
begitu asing, tapi satu-satunya
yang setia menghibur tidur kita. Pembaringan yang
sebentar lagimembangunkan kehidupan lain
di luar tubuhku. Di luar,
yang menyambut musim-musim berlagu
Sampang, 1429 H
Puisi Langkahan Berdarah di Bibir Malam | Jansori Andesta
Langkahan Berdarah di Bibir Malam
Jansori Andesta
rentet suara tembak memecah kelam
hujan peluru sadarkan alam
amuk memburu jelmakan dentam
sontak tergerak kulirik waktu, jarum tertuju delapan malam
—
ahai, Langkahan kini mencekam
miriskan hati pada jiwa jiwa yang terancam
satu tewas
satu kritis
terasa dingin tubuh terhujam
pancarkan darah dari luka luka yang dalam
—
Langkahan gelisah
Langkahan berdarah
Langkahan bangkit amarah
—
kawan, cari tahu siapa tangan
bikin rusuh
tiada malu
lumurkan debu pada wajah Bunda yang muram
tanggungkan malu pada Sang Alam
cari tahu
lalu tangkap jangan bebaskan
jadikan tawan beri hukuman
sembuhkan luka
tenangkan jiwa Langkahan dendam
—
kini Langkahan kian mencekam
kini Langkahan kian mendendam
tahankan luka pancarkan darah pada jiwa terhujam
terbungkus kelam di bibir malam
03feb2012
ket :
tragedi penembakan di Langkahan, Aceh Utara
satu tewas, satu kritis dan masih dalam perawatan
belum diketahui siapa pelaku dan apa motif di balik penembakan
pelaku dikabarkan berjumlah 5 orang menggunakan senjata laras panjang
Permisi Tuan, Apakah Ini Republik Toilet? | Arrie Boediman La Ede
Permisi Tuan, Apakah Ini Republik Toilet?
Arrie Boediman La Ede
Permisi Tuan,
saya mau memeriksa catatan harian saya tentang Anda
selanjutnya saya juga akan memeriksa kamar tidur hingga ke ruang kerja Anda
tak lupa pula sayapun akan memeriksa daftar kepurapuraan Anda
saya juga tidak akan lupa memeriksa daftar kekeliruan Anda
hm, mungkin sayapun akan memeriksa kamar toilet Anda
Permisi lagi Tuan,
saya mau bertanya kepada Anda
satu, khoq catatan harian saya Anda buang ke-sebuah toilet?
dua, khoq di ranjang Anda kini dipasangi toilet?
tiga, khoq di meja kerja Anda dipasangi toilet juga?
empat, khoq kepurapuraan Anda pun telah dipenuhi dengan toilet?
lima, wah khoq di kamar toilet Anda tak ada toiletnya?
Tuan, Anda pemimpin bukan?
tapi kenapa kita-kita merasa tidak punya pemimpin?
karena kita-kita di sini tahunya hanya partai Anda
karena kita-kita di sini tahunya Anda hanya mengurus partai Anda
karena kita-kita di sini juga tahunya bahwa orang-orang di partai Anda semakin ramai memamerkan toiletnya dimana-mana
Tuan,
apakah ini dikarenakan bahwa negeri ini sedang memproduksi secara massal toilet?
apakah toilet-toilet itu akan Anda ekspor?
atau hanya sekadar dietalasekan pada supermal-supermal milik kaum kapitalis borjuis?
atau, Anda mau jejalkan secara paksa toilet-toilet itu ke-dalam mulut beratus-ratus juta rakyat disebuah pasar rakyat?
itukah produk rezimmu yang kau bangga-banggakan kali ini, Tuan?
Permisi lagi Tuan,
saya akan memeriksa kembali catatan harian saya yang semakin dipenuhi dengan toilet-toilet
Maaf Tuan,
ternyata dicatatan harian ini telah tertulis juga
: bahwa, parlemen-parlemen Anda semakin bingung meletakkan produksi toiletnya
: bahwa, jual beli hukum telah dilakukan dalam sebuah toilet yang katanya atas seijin Anda
Maaf beribu-ribu maaf Tuan
sekali lagi saya akan memeriksa toilet Anda
: ups, maaf…..maafffff, siapakah Anda sebenarnya Tuan?
Permisi,
serambi sentul 08 februari 2012
Puisi Salam Kemiskinan Buat Tuan Presiden
Salam Kemiskinan Buat Tuan Presiden
Tante Paku
Melihat geliat para pejabatmu ya tuan Presiden
terpanggilku tuk tuliskan puisi ini
betapa sikap mereka seperti dewa
yang berdiri di atas semboyan-semboyan yang tak bisa ditawar
Kan kusinggahi istanamu ya tuan Presiden
kan kubawakan sebakul buah dari desa
yang kupikul lewati trotoar tak ramah
dengan keringat yang siap diperas
sebab terik matahari begitu menyengat kotamu
Di tengah protes kaum terpelajar
gerombolan berseragam muncul dari pelataran istanamu
bak penyamun terlatih memperkosa diriku dengan rakusnya
sebakul buah ini tumpah ruah
Aku bukan demontrans yang memprotes kebijaksanaan
namun segerombolan srigala lapar menatapku curiga
“Di manakah keadilan?” tanyaku pada mereka
Aku tersungkur hilang arah
gelap baik buruk dosa
silih berganti mengisi samarku
yang kudengar hanya suara-suara penuh belatung
Tercampakku di tepi istanamu ya tuan Presiden
jiwa ini tersadar mencari pijakan
rohku mengembara mencari Tuhan
Pulang ke desa adalah pilihan
tuan Presiden aku sampaikan salam kemiskinan
akan kuajak kerabatku untuk berburu
mencari garudaku yang hilang
di manakah kau sembunyikan tuan Presiden?
10212
Cacing Tanah | Puisi Umar Fauzi Ballah
Cacing Tanah
- Ria Rossiana
Umar Fauzi Ballah
bukan karena kau sampah
maka aku mencintaimu yang menghumus tanah dengan rindu-rindu
tumbuh dengan jantung terbelah
menengadah untuk sesuatu yang serba biru
yang kupungut kemudian kau usut
yang kutabur kemudian kau gembur
lalu aku menyusu dari rahimmu
membelai umbai-umbai penyemai panen yang terbengkalai
sesungguhnya pesta tak pernah usai
akan selalu ada tempat kita buai
seperti halnya kematian melambai-lambai
aku yang tak pernah sampai, menjadikanmu
semacam igau yang kudengar sepintas lalu
Sampang, 1429 H
Terminal Senen | Puisi Karya Norabima
TERMINAL SENEN
Norabima
Menuju terminal SENEN
Aku bergerak menuju arah angin yang hendak membawa asaku
melangkah ke utara
tidak sehebat waktu yang mampu menebas ruang-ruang di mana
Tuhan tidak pernah
terbatas
maka aku pun pergi
terus mencari ke mana abzad baru yang mungkin bisa kupahami maknanya
gerak langkahku terus menuju ke utara
melaju bersama angin yang akan membawaku
ke sana
April 2005
Puisi Aku Iba | Norabima
AKU IBA
Norabima
Aku iba pada kawan yang mengira aku lawannya
aku iba pada sahabat yang mengira aku musuhnya
aku iba pada kesejatian
yang disangka kejahatan
maka aku iba pada segala
pada penipu dan orang yang tertipu
April 2005
Puisi Ziarah di Bukit Uhud | Hasan Basri BFC
ZIARAH DI BUKIT UHUD
Hasan Bisri BFC
Entah mengapa, saban tegun di tempat ini tulangtulang dan sesendian seperti berlepasan
Membayangkan 70 penjaga firman menjadi syuhada kepagian
Oleh panahpanah kebencian yang dilepaskan dari busurbusur kekafiran.
Dan Wahsyi, lelaki jalang yang menjelmakan Hindun serupa serigala tengah malam, menyuci lensa matanya dengan gagak hitam
Membayangkannya jadi ngeri dan pilu
Lelaki macam apakah dia, ketika gebu menukar dinar dengan jantung Hamzah—lelaki yang disayangi Nabi dan dipayungi rerimbun doa
Dan Hindun, yang dibanjiri darah jantung Hamzah di kedua gigi taringnya tak dibiarkan Nabi mati oleh api dendam saudara sendiri
Karena tuhan telah meniupkan nafas kerinduan pada hatinya yang begitu perempuan.
Jakarta, 2005/ 2007
Puisi Dengan Perumpamaan
Dengan Perumpamaan
Dadang Ari Murti
dengan perumpamaan seperti apa aku bisa menyapamu
mendekat ke lekuk bibirmu, lesung pipitmu
dan sepasang mata coklat tua bening
seperti langit senja
seperti daun-daun mahony yang digugurkan angin
sebab segala kata telah tersesat di sebuah kelokan
menurun dekat rumahmu
dan tak ada yang pernah sampai
apalagi singgah
dan rasanya akupun tak perlu lagi mengingat sesuatu
yang pernah menelusup di balik rambutmu
seperti permen karet
guratan tahun yang membekas adalah cerita
tentang sudut-sudut pasar, deretan wisma pelacur
dan puluhan papan reklame, seperti komik
atau cerita bergambar yang senantiasa kita baca
walau tak pernah akui bahwa selalu ada yang
bisa membuat tertawa
sebab sudah ada uban disana, berteriak-teriak di antara
tumpukan sampah dan lumpur, juga seekor kutu
yang rajin menjilati luka dijidatmu, seperti hantu
“bukan, seekor drakula terbang dan tak kembali lagi, dulu”
bisikmu lirih, selirih degup jantung, atau rinai
di antara kakiku, saat lampu mulai dipadamkan
dan tak ada yang tersisa selain kukuk burung hantu
di wuwung
“apa yang akan kita lakukan?”
akan kunyalakan sebuah puisi untukmu, agar tidurmu
tidak digigit gelap
dan setelah itu, tak ada bisa sampai apalagi singgah
dengan perumpamaan seperti apapun.
Surabaya, 2008
Sebagai Puisi | Dadang Ari Murti
Sebagai Puisi
Dadang Ari Murti
secangkir sepi yang kau tawarkan untukku
semangkuk rindu yang kau suguhkan untukku
masih mengepul di atas meja makan
sebaris senyummu masih terlalu jauh
melambai di antara gerimis yang sempat singgah
di teras rumahmu
tak ada yang bisa kuartikan atau sekedar kuterjemahkan
sebagai puisi
getar serapahmu yang terlunta-lunta di sela-sela
nisan pekuburan ki ageng bungkul
serupa peziarah
yang dikelilingi melankoli
taburan bunga, isak tangis dan masa lalu
sekumpulan peminta-minta, penjual doa denga mata terpejam,
baju koko lusuh dan kitab koyak moyak,
memanjat senja yang mulai lelah
kemudian kau minta aku untuk tidak mengingat apa-apa
sebab kau ingin menjadi kupu-kupu
dan aku masih seekor ulat bulu
namun gemuruh yang datang tiba-tiba itu
membawa orang-orang baru
dengan fedora abu-abu, dan traktor-traktor raksasa
tumpukan semen, batu bata, juga beton, dan derap sepatu
boat yang menakutkan, mengganti ilalang dengan
deretan wc umum yang kakus-kakusnya lebih wangi
dari kamar kita
memaksamu pergi ke tempat yang aku tak tahu
sebelum sempat kukabarkan aku tak akan mampu
melupakanmu
dan tahun-tahun yang terbentang setelah itu
yang memisahkan aku dan kamu
adalah sepi
adalah rindu
yang membeku di ujung pena
namun tetap tak dapat kuartikan atau kuterjemahkan
sebagai puisi.
Surabaya, 2008
Puisi Bertema Telepon Umum | Dadang Ari Murti
Telepon Umum
Dadang Ari Murti
dari telepon umum ini membentang jalan yang jauh
berliku-liku sampai rumahmu, lorong-lorong gelap
tawar-menawar kelamin bekas, terigu atau tahu tempe
juga rencana unjuk rasa
dan ada rindu yang pernah kucecap disini
rindu semerah darah yang lahir dari urat lehermu
diantara kalung bambu dan tatoo kupu-kupu
“tidak akan ada lagi yang hinggap disini selain engkau”
waktu itu kutanam sepasang matahari dibibirmu
dan kulihat beberapa penyair melambaikan tangan,
serupa isyarat, yang tak dapat kuterjemahkan sampai
hari ini
ketika ingin kucecap rindu di jalan yang jauh
yang membentang dari telepon umum ini sampai rumahmu
sebab matahari tak jadi tumbuh, saat aku ikut
melambaikan tangan kepadamu
Surabaya, 2008
Jazirah Api | Hasan Bisri BFC
JAZIRAH API
Hasan Bisri BFC
Di jazirah ini, orangorang mengibarkan bendera api tinggitinggi. Sembari berteriakteriak, diasapinya kelaminnya sendiri
Di sinilah orangorang mewarisi api kebencian Ibrahim yang dititipi nafas kesucian tuhan. Dikemas dalam selubung keimanan
Tapi matahari siang itu begitu menyilaukan
Diikutinya tilastilas setan yang berdebu dan usang
Maka lengkaplah sudah tipudaya, ketika diteriakkannya, “Bismillahi Allahu Akbar!” pada lemparan batubatu kebinasaan
Berjutajuta setan mengeramasinya dengan warnawarni pujian
Jakarta, 2005/ 2007
Puisi Pertemuan di Padang Cinta | Hasan Bisri BFC
PERTEMUAN DI PADANG CINTA
Hasan Bisri BFC
Selalu kuimpikan kita bakal berjumpa di Padang Cinta. Engkau jadi bahtera yang akan mengantarku pada tilastilas Nuh dan Kan’an. Menulis kembali kenangankenangan yang dikaburkan getas waktu dan kebodohan.
Tapi sesosok api tak bosanbosan mengepung bayangku. Meski telah susahpayah kusembunyikan kelaminku pada gemericik airwudlu. Seperti telah tahu seberapa rapuh seratserat iman dalam tubuhku. Kini, ketika kau tahu serupa rantingranting kering di musim kemarau, maka tak ada jalan henti baginya
Selalu kuimpikan kita bakal berjumpa di Padang Cinta. Engkau menjadi dian yang akan memanduku mengutas jalan keabadian.
Namun sesosok api tak bosanbosan di balik punggungku. Menyisir bulukuduk agar aku tak hentihenti bangga pada sosokku
Meski telah kuwarisi api kebencian Ibrahim dengan batubatu, lagilagi yang luka berdarah di wajahku
Jakarta, 2005 / 2007
Suara Tua | Dadang Ari Murti
Suara Tua
Dadang Ari Murti
suara yang tua itu, seakan datang dari jauh
dari lorong-lorong masa lalu
merembes melalui pagi yang dingin
ketika aku menangis sendirian
di bawah akasia yang sengaja kau tanam
untuk menjaga agar aku tetap hangat
dan tubuhku telah sampai di lereng arjuna
ketika suaramu tiba di telingaku
menjelma kabut tipis
seperti duka cita, seperti isak dan sambat
para pendaki
yang kehilangan arah
mirip sekali bukan
dengan dongeng atau kutukan yang seringkali kau hamparkan
di atas tikar tempat kita melepas penat dulu
sebelum aku pergi
sebelum kau melambaikan tangan
sebelum peluit kereta menjerit keras dan kau
berkata “ini yang terakhir”
suara yang tua itu, yang datang dari jauh
mungkin memang kau
yang tak akan pernah kutemui lagi
Surabaya, 2008
Biji Matahari | Dadang Ari Murti
Biji Matahari
Dadang Ari Murti
sekuntum matahari mekar di daun telingamu
meluruhkan serbuk sari di sekujur pipimu
kuning seperti cat tembok belakang kantin
tempat kita belajar merokok dan membaca puisi
ketika tubuh masih wangi, dilumuri lotion dan
pemutih kulit
deretan bakul berisi gorengan, plastik-plastik
penuh kerupuk, renyah seperti senyummu, yang
malu-malu kau sembulkan di bawah kacamata,
wajah tirus dan rambut ikal sebahu
“tidak ada yang lebih gagah dari gerimis” katamu
“dan matahari” sahutku
lalu sama-sama kita warnai bianglala
waktu itu gerimis masih perawan, dan matahari
belum berbiji
waktu itu tidak ada tindik di daun telingamu
waktu itu aku belum tahu bagaimana menyemai
matahari di daun telingamu
seperti kau tak tahu bagaimana cara
menunggu, memelihara rindu agar mekar dan
bersahaja
hingga aku tak perlu memecahkan cermin,
berteriak-teriak dan berjalan sambil
menangis pagi ini
Surabaya, 2008
Puisi Tentang Telur Mujair | Dadang Ari Murti
Telur Mujair
Dadang Ari Murti
beberapa mujair berenang di matamu
di antara gelambir seperti kulit martabak
bercak dan noda jerawat, tatahan peristiwa yang menumpuk
mengingatkanku pada sekumpulan tawon
di depan kebun binatang
penjual lumpia, penjual kondom yang membuatmu
tertawa sambil memandang celanaku
“mungkin suatu hari aku akan memakanmu”
tapi tawa dan tangis selalu bertemu di lubuk yang sama,
di balik eceng gondok dan guguran daun nangka
tempat beberapa mujair menyembunyikan telur-telurnya
dari burung pemangsa telur berparuh lumpia
“jangan takut, jangan pernah, akan kutetaskan
telur-telur ini di sarang paling hangat, di sana
diatas wangkal itu” bisikku di tengah kepulan
susu hangat yang kau suguhkan
“apalagi yang bisa hidup disana, selain kau dan
kawanan emprit, apalagi?”
saat itu gerimis turun, menghanyutkan semua telur
dari sarang diatas wangkal
Surabaya, 2008
Puisi Tentang Pemancing Tua | Dadang Ari Murti
Pemancing Tua
Dadang Ari Murti
pemancing tua dengan fedora putih, di tepi
kedung yang jauh
mungkin sedang mencatat ingatan
atau serpihan busa limbah pabrik, dan sisa cuci salju
nila-nila dengan sisik seperti kulit peladang tua
atau tukang becak dengan gigi ompong, malu-malu
mengintip dari gumpalan pembalut bekas,
dan bungkus kentang goreng.
salah satunya menghitung mata kail
memilih cara menuju lelehan mentega yang paling
hangat
aih, tak ada lagi mentega, kaleng-kaleng dipenuhi
sambat, tumpukan surat utang dan air mata yang membeku
di situlah setiap pagi tumbuh lumut halus, dan
dari tepian penuh karat, beberapa ekor kupu akan melilitkan
bianglala di fedora putih
mengikatkan tenung di leleran liur, lumut dan mata pancing
lalu waktu mengecipak di dalam bubu, asap rokok
dan tukang batagor berlomba memenuhi dada, dan
selalu ada pasir yang menyesakkan, yang sulit
diurai menjadi pondasi, menjadi tiang-tiang
atau batako
setelah itu, ikan-ikan akan menepi, menernakkan
sepi di dalam telinga pemancing tua itu
tapi tak ada alasan untuk menyerah, tak pernah ada
maka dia tertegun sendirian, di depan poster
beethoven di dinding kamarnya.
Surabaya, 2008
Bersujud di RumahMu | Puisi Bertema Islami
Bersujud di rumahMU
deddi anggadiredja
bersujud di rumahMU
serasa sirna alam raya
melayang sukma
menggapai haribaanMU
menggapai rahmat hidayah dan ampunanMU
bersujud di rumahMU
serasa sirna alam fana
diriku juga tiada
entah kemana – entah dimana
aku merasa menyatu dengan sebuah cahaya
dan
aku bahagia
Mekah, 1991
Puisi Tentang Kota Sumedang
Sumedang
deddi anggadiredja
ketika purnama jatuh ke haribaanmu, wahai sumedang
ketika pucuk-pucuk pinus di gunung palasari
tegak berdiri
ketika gerimis turun bagai jarum-jarum
menusuk bumi
aku menjadi saksi
tentang keperlayaanmu melawan zaman
tentang ketidak berdayaanmu melawan perubahan
perlaya dan tak berdaya
memang zaman dan perubahan
bukanlah sesuatu yang harus kau tentang
ia akan terus datang dan datang
dengan atau tanpa maumu
wajahmu akan terus berubah
jadikan zaman dan perubahan teman setia
kalau tidak,
ia akan membunuh dirimu kapan saja
sumedang 1984