Puisi Kesunyian Hati | Lagu Murung

Lagu Murung
Rohyati Sofjan

Cuaca mendung, mungkin seperti inilah lagu murung.
Kabut pekat keabuan, langit gelap, kilat dan guntur.
Desing angin, daun gugur, jalanan lengang dan hening.
Juga rintik hujan yang seketika menderas dalam kilau
jutaan kubik air, mengguyur serentak dari udara,
jatuh begitu saja. Membasahi atap, ditampung talang
lalu tumpah ke trotoar, membentuk genangan.

Lalu apa arti lagu murung? Bukankah selain hujan
atau langit mendung, hidup ini mestinya berirama
atau bewarna. Tidak melulu kelabu. Seperti cat warna-
warni melabur bendawi, atau pelangi di ujung bumi.

Andai kudengar Chopin yang mendongeng tentang hujan
dalam orkestra kamar, sudah tentu aku akan
kuyup kedinginan dan tenggelam dalam kepedihan.
Namun Bach, kata seseorang, menghentak dan bersemangat.
Atau aku lebih suka berjingkrak dalam irama salsa,
melupa apa yang ingin kulupa dan bergembira.

Tidak, aku lebih suka merenung, sendirian. Tak ada musik
di sekitar. Apalagi Chopin, Bach, atau Ricky Martin.
Kuhabiskan detik jam untuk berlalu begitu saja.
Entah apa yang berdenting, gitar atau jam dinding.
Atau hanya gema yang memantul dalam ruang kosong
yang kuhuni ditemani sepi. Segalanya serba sunyi.

Bandung, 13 April 2000


Category Article ,