Home > Tema Sayang > Puisi Naungan Kasih Sayang | Kahlil Gibran
Puisi Naungan Kasih Sayang | Kahlil Gibran
Naungan Kasih Sayang
Khalil Gibran
Bangunlah di dalam angan-angan,
sebuah atap di tengah hutan,
sebelum rumah kau dirikan dalam lingkungan kota.
Karena, sebagaimana kau mesti pulang setiap senja,
demikian pula jiwa halusmu, yang mengembara
sendiri senantiasa.
Dia tumbuh berkembang di sinar mentari,
dia tidur di kala malam kelam dan sunyi
dalam kegelapan yang tiada sepi dari mimpi
Tidakkah rumahmu mengenal mimpi?
Dan selama bermimpi, dia tinggalkan kotamu,
Melayang terbang ke gua-gua dan bukit biru?
Alangkah dambaku menggenggam rumah-rumah
itu dalam tanganku,
bagai penyebar benih akan kutaburkan rumah ke
hutan dan ladang.
Alangkah dambaku, lembah itu menjadi jalan rayamu,
dan jalur hijau di sana, menjadi lorong kotamu.
Dan kau saling jumpa hanya setelah melintasi belukar anggur,
sehingga bajumu membawa harum perkebunan.
Dan wangi tanah menyegarkan pertemuan,
namun alangkah sayang, semua itu angan-angan
terbayang.
Di dalam kecemasan moyangmu menempatkan kau
terlampau berdekatan,
dan rasa cemas itu masih akan tinggal beberapa lama,
sebentar lagi tembok kota akan memisahkan api tungku,
dan lembah dan ngarai, ladang dan kebun-kebunmu.
Lalu sebutlah, rakyat Orphalese,
apakah yang ada di dalam rumahmu?
Dan apa yang kau lindungi di balik pintu?
Adakah padamu Kedamaian, daya kebisuan
yang memendam kekuatan insan?
Adakah padamu Angan-angan, busur-busur
gemerlapan
yang merentang bidikan ke puncak-puncak daya pikiran?
Adakah padamu Keindahan,
yang menuntun hati melalui ukiran kayu dan pahatan
sampai ke puncak sang gunung suci?
Katakan, lengkapkah ada di dalam rumahmu?
Ataukah hanya terdapat kesantaian, dan hasrat
kenikmatan di dalamnya?
Nafsu yang mula-mula datang sebagai tamu,
berubah menjadi tuan rumah,
akhirnya menjelma jadi penguasa?
Lalu sebagai penjinak, dengan lembing dan
cemetinya,
menjadikanmu bulan-bulanan, permainan
keinginan.
Walaupun tangannya sehalus sutra, hatinya sekeras baja.
Dia membius dan berdiri dekat ranjangmu,
mencemoohkan harkat martabat darah dagingmu.
Dia mentertawakan pikiran sehat dan
membungkusnya dalam kapas,
seolah-olah barang yang mudah retas,
sesungguhnyalah nafsu kenikmatan membunuh
gairah kejiwaan,
akhirnya dia menyeringai menang, ketika jenazahmu
dalam usungan.
Tetapi kau, putera puteri ruang semesta alam,
kau yang gelisah dalam peristirahatan,
tak bakal kau masuk perangkapnya ataupun
dijinakkannya.
Rumahmu tak akan menjadi sebuah sangkar,
melainkan tiang utama sebuah kapal layar.
Tiada pula ia sebagai selapis kulit ari,
yang menutupi kerawanan sebuah luka,
namun jadilah ia kelopak mata, yang memberi
perlindungan kepada netra.
Kau tak akan melipat sayapmu bila kau melalui pintu
tiada pula kau tundukkan kepala karena takut terantuk kayu,
tak pula kau harus bernafas dengan cemas,
mengkhawatirkan nafas membuat dinding retak atau retas.
Tiada kau akan mendiami peti-peti mati,
peninggalan arwah bagi yang belum saatnya
Walaupun diliputi kemewahan dan keagungan,
rumahmu bukanlah wadah kerahasiaan,
maupun wadah pengamanan keinginan.
Tag : Ciuman Pertama, Pandang Pertama, PerkawinanShare
Category Article Kahlil Gibran, Tema Sayang