Home > Tema Puisi Anak > Kumpulan Puisi Liburan Sekolah | Puisi Liburan Anak Sekolah
Kumpulan Puisi Liburan Sekolah | Puisi Liburan Anak Sekolah
Liburan Sekolah adalah hal yang sangat ditunggu dan tentu saja mempunyai kesan tersendiri. Setiap orang pasti mempunyai pengalamannya masing-masing. Dibawah ini ada beberapa puisi tentang liburan sekolah yang dikutip dari berbagai sumber, mudah-mudahan bisa menginspirasi adik-adik untuk membuat pengalaman liburannya yang dibuat dalam bentuk puisi. Selamat membaca.LIBURAN SEKOLAHSyaiful BahriAkhir sekolah, buku-buku ditumpukbegitu saja di gudang di belakang rumahdan meja belajarku akan penuh buku-buku baru.Ibu, setahun ini aku telah belajar seni melipat kertassebentuk angsa, perahu, boneka sampai kembang.Buku-buku di gudang itu, aku ingin menjadikannyakembang mekar atau pun kembang kuncup.Teman-temanku mengajak bermain kelereng dan petak umpettunggu aku bilang, aku belum selesai melipat kembang kertas.Mereka bilang sekarang bukan waktu sekolah, tidak ada tugastidak tahu bahwa ini memang bukan tugas, tapi aku hanyaIngin memberi hadiah padamu, padamu Ibudan semua keindahannya cuma untukmu, hanya itu.Memang kembang ini tidak harum seperti melatitidak juga berwarna-warni seperti magnolia.Tapi terimalah kembang kertas ini, Ibu.Sebab kembang ini adalah ilmu pengetahuanyang tak akan pernah layu, jatuh lalu hilang.Pada akhir sekolah, buku-buku ditumpukbegitu saja di gudang di belakang rumahaku menjadikannya kembang mekar dan kembang kuncup.2011Liburan SekolahJoko Pinurbo(1)Liburan sekolah sudah tiba. Sepeda merahku melonjak gembira.Sambil ngebut di jalan pulang ia meminta:“Besok ajak aku piknik ya bang. Aku jenuhtiap hari mengantarmu pergi pulang sekolah.Aku ingin jalan-jalan ke bukit dan lembah.”Kuremas gagang stangnya yang kusam, kuberi ia sepotong janji:“Tentu aku akan akan mengantarmu tamasya ke tempatyang seindah mimpi. Tapi kau tak boleh nakal.Tak boleh menabrak pantat orang.Tak boleh nyelonong ke jurang. Dan kalau belokharus pelan-pelan, jangan malah menambah kecepatan.”Ah sepeda merahku. Rodanya yang tak pernah barukadang menggelinding juga ke halaman tidurku.Kutepati janji. Di sebuah sore yang hangat dan menggemaskan,di bawah matahari yang gondrong rambutnya,aku dan sepedaku pergi melancong ke hutan.Sepedaku dan aku menyusuri lembah dan bebukitanseperti dua petualang yang tak peduli pada tujuan.Memasuki senja, kami tersesat di sebuah lorong cahayayang menuju ke cakrawala. Di ujung lorong cahaya munculsebuah tangga cahaya. Di atas tangga cahaya tampakseorang lelaki tua sedang bermain sulap. Oh ia sedang menyulapsegumpal awan menjadi selembar sapu tangan.Ia melambai dan memanggil: “Ayo lekaslah ke sini, nak.Mari kusulap sepeda bututmu menjadi sepeda baru.”Aku mendekat. Ya ampun, wajah tukang sulap itu miripwajah kakekku yang hanya pernah kulihat fotonya.Aku ingin sekali naik ke tangga itu, tapi sepedaku buru-burumencegahku: “Ayo pulang, bang. Aku sudah capek dan kedinginan.”Sampai di rumah, kudapatkan nenek sedang menggigildi depan tungku, ditemani kucingnya yang montok dan lucu.Kuhampiri ia dan kuraba keningnya: “Nenek sedang demam ya?”Dengan lirih dan agak gemetar ia menimpal: “Aku rindu kakekmu.”(2)Rencanaku menjenguk teman yang lagi sakit tertunda lagi.Hujan mengamuk tak henti-henti, wabah flu menyebarke seluruh penjuru kampung. Di mana-mana kutemukanorang berkerudung sarung, seakan-akan negara sedang berkabung.Sampah hujan menumpuk di sudut halaman, berangsur-angsurmengeras menjadi es batu. Aku membantu ayah memecah-mecahbongkahan es hujan. Ayah memasukkan beberapa bongkahke dalam kulkas, katanya: “Es batu ini, nak, sangat bagusuntuk bikin minuman. Bagus pula untuk obat.Nanti kubikinkan ya? Ayah jamin kamu tak akan mudahpusing, pilek dan demam bila kehujanan.”Malam itu kulihat ayah banyak minum es hujan. Setelah puas,ayah mengepalkan tangan dan mengacungkannya, serunya:“Tubuhku sehat, badanku kuat, walau nasibku semakin gawat.”Lalu ayah sempoyongan seperti orang mabuk.Sejurus kemudian ayah menggelosor dan tertidur di depan televisi.Dari dalam televisi penyiar mengucapkan salam:“Selamat tidur, penyair. Selamat mabuk es hujan.”(3)Malam-malam aku disuruh ibu membeli kerupuk di warung seberang.Kerupuk, kata ibu, bisa membuat meja makan yang dingin dan nestapajadi cerah ceria. Ibu suka kerupuk yang renyah dan seru bunyinya.Di jalan remang-remang menuju warung aku berpapasandengan seorang adik kelasku yang parasnya lebih dari lumayan.Kami beradu mata dan saling mengucapkan hai.Tatapannya telah mengobrak-abrik kesunyian mataku.Sejenak kami berbasa-basi. Lalu malam membimbing kamike sebuah bangku di bawah pohon rambutan di dekat warung.Kami berbincang hangat tentang seluk-beluk sekolah.Tentang pelajaran matematika yang membosankan.Tentang awalan ber- yang membingungkan. Juga tentang bu guruyang selalu bilang astaga bila ada muridnya yang pecicilan.Aku pulang sambil bersiul sepanjang jalan.Tidak dengan kerupuk, tapi dengan beberapa biji buah rambutanyang dipetik adik kelasku itu dan diberikannya kepadaku,katanya untuk kenang-kenangan.Malam berikutnya aku pura-pura mau beli kerupuk lagi,siapa tahu bisa bertemu kembali dengannya. Ah, terlambat.Kulihat ia keluar dari warung bersama entah siapa.Mereka jalan bersama dengan mesra sambil ketawa-ketawa.Aku bengong, terpana. Ia menoleh ke aku, matanya melirikdengan cemerlang, tapi tatapannya tak sanggup lagi menembus mataku,bahkan seyum manisnya telah mengubah hatiku menjadisebongkah bara. Lelaki sepantaran aku di sampingnyajuga menoleh, tersenyum, menganggukkan kepala, tapi aku keburubalik kanan, pulang. Pulang dalam bimbang.Aku tak tahu apakah itu yang namanya cinta monyet.Sedikit cintanya, lebih banyak nyometnya,dan akhirnya mungkin hanya tinggal nyemotnya.Menjelang tiba di rumah, kutemukan sajak Chairil bercecerandi pinggir jalan. Kupungut dan kemasukkan ke saku celana.Di atas meja belajarku ada gambar Chairil sedang merokokdengan mata disipit-sipitkan. Gayanya tampak agak dibuat-buat,tapi cukup keren juga. Aku segera mengambil kepingan-kepingansajaknya dari saku celanaku, membersihkannya,kemudian merangkainya menjadi sebuah kalimat, bunyinya:Ah hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-koyak sepi.(4)Bu guru memberiku tugas membuat laporan kegiatan seni.Sore itu kuminta ibu menemaniku melihat-lihat pameran lukisandi sebuah galeri di sudut alun-alun kota.Lukisan-lukisan besar berbaris di dinding dan dengan hormatmenyambut kedatangan aku dan ibu.Aku dan ibu terpikat pada sebuah lukisan yang tak jelassiapa pelukisnya. Lukisan itu sepenuhnya berlatar hitam.Di tengah hitam hanya ada sebuah rumah tua berpintu merahdengan cahaya lampu redup remang. Lama aku terpesonasampai terlambat sadar bahwa aku telah kehilangan ibu.Ibu tak ada lagi di sampingku. Pastilah ibu sedang ke toiletsebab tadi beberapa kali ibu menanyakan di mana toilet.Tanpa ibu aku terus terpana memandangi lukisan itu.Aku terkesiap ketika cahaya lampu di rumah itu makin lamamakin terang. Mungkin karena kupandangi terus,lambat laun meremang kembali. Tiba-tiba aku merindingdan merasa kesepian. Aku terhenyak ketika seseorang menepukbahuku, katanya: “Sedang melamun ya?” Ah, ternyata ibu.“Ke toilet kok lama sekali sih, bu?”“Ibu tidak dari toilet, anakku. Ibu habis memasuki rumah tuadalam lukisan itu. Ternyata itu perpustakaan. Ibu sempatmembuka-buka sekilas beberapa buku tua. Ibu senang bisa menemukansebuah kitab puisi yang ibu cari-cari. Judulnya lucu, Celana.”“Celana, ibu? Bukankah itu buku yang baru akan saya tulisdua puluh tahun yang akan datang?”Ibu segera menggandeng tanganku dan mengajakku makan bakso.(5)Malam Minggu. Aku duduk-duduk saja di ruang tamusambil menjahit baju seragamku yang koyak di bagian ketiak.Aku menjahitnya dengan benang hitam yang lembut dan liat.Tengah suntuk-suntuknya aku menjahit, adikku tersayangtiba-tiba nyelonong dari belakang: “Pantesan ibu merasa kepalanyaberdenyit-denyit. Ternyata kamu menjahit dengan rambut ibu.”(6)Ini malam terakhir liburanku. Rasanya sekolah sudah merindukanku.Kusempatkan membongkar tas sekolahku yang penuhdengan ribuan kata-kata pemberian ibu dan bapak guru.Kupilih dan kupilah mana yang harus kupersembahkankepada tempat sampah, mana yang mesti kuawetkan dalam ingatan.Di ruang tengah ibu lagi bersendiri bersama televisi.Aku mencoba melongok lewat celah pintu kamarku.Oh, ibu sedang minum es hujan. Ibu tersenyum riangsehabis meneguk es hujan. Teguk lagi, senyum lagi.Teguk lagi, senyum lagi. Tapi mengapa gelas ibuseperti tak berkurang isinya, malah terisi penuh kembali?Rupanya ada air mata tak kelihatan yang mengucur ke gelas ibu.Aku tahu ibu diam-diam sedang menangis terharu.Aku tak tahu apakah ibu terharu karena nilai ulanganku bagus semuaatau karena belum bisa membelikanku sepatu baru.Kututup rapat pintu kamarku, kukemasi buku-buku pelajaranku.(7)Pagi-pagi, berbekal kecupan hangat ibu,aku bersama sepeda merahku berangkat berjuang kembali ke sekolah.Di perjalanan aku dicegat oleh adik kelasku yang satu itu.“Hai, ada titipan salam untukmu dari kakakku.”“Siapa kakakmu?”“Itu... yang ke warung bersamaku malam itu.”Aku terdiam dan ia lanjut jalan. Senyum hebatnya tak bisa lagi kulawan.(2009/2010)Puisi LiburMaria Kiranabelajar..belajar...belajar!Akhirnya selesai jugasebelum libur pembagian raporAsyik,nilaiku tidak ada yang merah!libur tlah tibaenaknya kemana ya?ke rumah saudaraatau..mmm terserah dehLibur tlah usaiayo,kembali sekolahbertemu guru dan kawanberbagi cerita dan ilmu2011Dikutip dari berbagai sumber
Category Article Tema Puisi Anak