Seusai Badai Berpeluk Puisi | Mega Vristian

Seusai Badai Berpeluk Puisi
Mega Vristian

Nak, semalam angin berputar kencang,
pepohonan tumbang ribuan kelopak bunga berguguran
Kupu-kupu dan burung entah digiring angin kemana
papan-papan iklan kaum kapitalis runtuh
Jatuh tepat di kepala PJTKI yang sedang jadi turis.
Promosi jajaran photo perempuan Indonesia pencari kerja
depan kantor agen Hong Kong digoyang angin kekanan kekiri
terbaca jelas walau tak tertulis,
- murah, tak cocok bisa ganti dijamin aman karena ada pendekeng kuat
Angin Juga menerbangkan selendang bayimu.

Selendang merah batik bermotip naga
yang sengaja kau selipkan ke koper bertahun silam
ketika ibu bersiap perang,
melawan sakit, melawan luka, melawan ketidak berdayaan
selendang penuh ingus dan airmata itu,
prasasti katamu yang kita pahami berdua entah bagi ayahmu
Maap, ibu lupa mengangkatnya dari jemuran bambu di jendela apartemen
seusai badai reda kucari tapi hilang.

Angin bisa merampas dan menerbangkan apasaja
saat berkolaborasi dengan badai kuasa mengaduk bumi,
tapi tak bisa merenggut kenangan kebersamaan kita,
meski selendang penggendong bayimu tak akan lagi memeluk rindu akanmu dikesendirian dan dikedinginan malam-malamku

Pada genang sisa hujan yang tersisa di ceruk waktu
wajah ibu terpantul menua tapi semangat didada tak bisa diremukkan usia
Mata tak mampu lagi menembuskan benang ke lubang jarum
tapi masih bisa membaca jelas elegi sebuah penantian
kau tulis bertinta darah air mata di buku harian
yang kau simpan di lubuk hatimu
meski tak pernah kau bacakan padaku, tapi ibu bisa memahaminya

Nak,
Di tanah perantauan ternyata tak bisa egois memanjangkan hidup kita sendiri
Tapi ada yang harus dilakukan ketika melihat bulikmu, budemu
bulik dan budenya orang lain juga para perempuan pekerja rantau
ditindas orang lain, ibu tak bisa diam nak, sebagai manusia kita tolak dijadikan mesin.

(Hong Kong, Hung Hom ,19 Juli 2009)


Category Article